Jumat, 19 Agustus 2011

19 Agustus 2011

dalam "Madre" milik Dee saya begitu yakin bahwa ada sebuah judul yang saya lupa judulnya itu untuk seseorang yang amat penting bagi Dee sebagai ucapan selamat ulang tahun orang tersebut.

banyak orang yang seharusnya mampu pula menuliskan hal-hal simple macam itu.
seperti malam ini.
saya pun akan menuliskan hal sesuatu yang entah simple entah tidak untuk saya ungkapkan kepada seseorang.

"selamat seperempat abad.kamu selalu suka menyebutnya demikian. seperti juga kamu lebih suka berkata 12 bulan dibandingkan 1 tahun. katamu ini membuatnya terasa lebih banyak. hari ini 19 agustus 2011 kamu sampai di seperempat abad hidupmu yang bagi saya kamu nampak makin tua. dan seperti lima tahun terakhir aku akan berucap hiduplah dengan caramu sendiri. tahun ini pasti terasa lain bagimu. smoga kamu selalu. "selamat seperempat abad dan kubiarkan kau isi sendiri segala smoga itu :)

Rabu, 17 Agustus 2011

#17an

Saya baru sadar, hari ini tanggal 17 Agustus dan alih-alih membicarakan kemerdekaan saya membicarakan sinetron.
 Ah, tapi apalah arti kemerdekaan bagi saya yang belum benar  tau apakah saya telah memerdekakan diri saya sendiri sebelum saya memerdekakan orang lain ataupun khalayak ramai. 
MERDEKA!
Mungkin cukup habis pada kata di hari ini.

Sinetron Indonesia: “Dari Sujud ke Sujud ”Hiburan Penuh Kematian

Smoga bukan awal yang buruk setelah lama tidak menulis tulisan semacam ini.        
Apakah anda adalah penggemar acara televisi Indonesia? Kalau begitu pasti kenal dengan yang namanya sinetron. Berapa tahun silam, era sinetron dimulai dengan sebuah sinetron yang entah berlangsung hingga berapa tahun berjudul Tersanjung yang terus belanjut hingga “Tersanjung (sekian)”.
            Lalu bagaimana sekarang? Saat ini, sinetron adalah tayangan wajib pada setiap stasiun televisi bahkan untuk para penggemarnya sudah hapal jadwal sinetron yang mereka gemari tersebut yang telah tayang entah berapa bulan atau bahkan tahun.
            Inilah fenomena sinetron Indonesia. Berbeda dengan sinetron Korea yang habis antara 20 hingga 30 episode paling banyak. Maka itulah persinetronan Indonesia dikenal dengan stripping. Jika melihat banyaknya episode boleh jadi saya akan mengancungi jempol kepada penulis skenarionya. Bagaimana tidak, ia pasti seorang yang bernafas panjang, yang mampu membuat rangkaian cerita terus menerus takkunjung selesai hingga happy ending terjadi pada setiap tokohnya.
            Saya punya contoh kasus menarik pada kasus happy end ini. Pada Ramadan tahun lalu, ada sebuah sinetron yang diadaptasi dari sebuah novel yang juga telah beralih menjadi sebuah film yang secara penjualan amat laris. Ya, para penggemar sekalian pasti kalian sudah tahu sinetron ini berjudul “Ketika Cinta Bertasbih.” Saking larisnya sinetron ini pun bersambung pada “Ketika Cinta Bertasbih 2” yang cerita telah berbelok arah dari novel aslinya yang ditandai dengan bermunculannya tokoh-tokoh baru.
            “Ketika Cinta Bertasbih 2” bukan lagi hanya bagaimana kehidupan Ana dan Azzam tapi juga kehidupan tokoh-tokoh lain yang takada pada novelnya. “Ketika Cinta Bertasbih 2” habis dengan happy end, kalian tahulah apa happy end bagi sebagian orang. Ketika setiap tokohnya telah memiliki pasang masing-masing, seolah-olah kebahagiaan hanya hadir antara dua orang yang telah bersatu dalam bahtera rumah tangga.
            Satu lagi happy end yang harus ada dalam sinetron Indonesia ketika para tokoh antagonis dalam kisah panjang nan semraut ini “dimatikan.” Saya harus kasih tanda kutip pada dimatikan. Mati dalam sinetron Indonesia adalah hal yang mudah. Seolah kematian pun adalah kebetulan. Kebetulan saya bahagia, kebetulan si jahat mati.
            Setelah penjelasan di atas kalau kalian pikir kisah cinta pada “Ketika Cinta Bertasbih” telah usai kalian salah total. Haha J untuk kalian tahu Ramadan kali ini ada sinetron “Dari Sujud ke Sujud” yakni lanjutan dari “Ketika Cinta Bertasbih.” Kalian pasti bertanya, “bukannya udah happy end? Terus sekarang ceritanya tentang apa?”
            Sekarang ceritanya masih tentang mencari kebahagiaan karena ternyata kebahagiaan kembali terusik. Sebabnya apa? Sebab ada tokoh yang dimatikan hingga tokoh tersebut memiliki kewajiban untuk mencari kebahagiaan lain. Ya, lagi-lagi dimatikan. Bukan hanya ada satu kematian tetapi ada beberapa kematian yang terus berlanjut.
            Salah satu tokoh bernama Furqon istri dan anaknya meninggal dalam proses melahirkan. Ibu Ustadz Ilyas mati secara tragis karena darah tinggi akibat sebuah pertengkaran dengan menantunya. Haha, betapa sebuah hal yang menggelikan, ya bukannya saya tidak percaya ada sebuah kematian karena darah tinggi tapi saya percaya kematian ini untuk ratting.
            Kematian ini disengaja untuk menjaga kepopuleran sinetron ini karena Ibu Ustadz Ilyas ini boleh disebut antagonis yang tidak akan disukai oleh penikmatnya termasuk kakak dan ibu saya.  Ada lagi kematian yang juga disengaja dan masih ibu-ibu. Yakni kematian Ibu Dokter Fajar. Ibu Dokter Fajar dimatikan untuk menjadi pahlawan bagi kebahagiaan Husna.
            Lalu, saya jadi capek menulis kisah ini. Haha, saya jadi ingat zaman kuliah ada seorang dosen favorit saya yang mengatakan “Pengarang yang mematikan tokohnya secara kasar adalah pengarang yang bernafas pendek dan memperlihatkan ketidaliahaiannya.”
            Walaupun kematian jadi begitu mudah saya tetap memberikan penghormatan kepada penulis skenario dan berharap ada sebuah sinetron yang oke, mendidik bukan sekadar pencarian jodoh dan kematian setiap waktu.

Minggu, 14 Agustus 2011

TABAH

TABAH
Teriakan mereka berlanjut di malam kelam dan takada satu pun yang membantunya bangun dari kegelapan malam. Perempuan itu tidak jua bangun dari kegelapan malam yang pekat, bukan karena tidak mampu hanya saja segala terlalu dalam baginya. Ya, perempuan itu terus meratapinya. Bukan, bukan meratapinya hanya terus menjalaninya. Kian tabah. Kian takmengeluh. Serta merta terus melaju dengan segala apa pada dirinya. Meski tidak pernah banyak lagi.
            Perempuan muda itu terus berjalan. Tidak menengok ke belakang. Tidak menangis hanya menjalani sebaiknya. Betapa ia telah makan asam-garam kehidupan. Betapa ia telah menjalani cinta. Ya, cinta membuatnya takjuga menemu mataharinya. Ia menganggap dirinya dalam terang. Tapi, sebenarnya ia berada pada pekatnya malam. Malam yang begitu gelap bahkan tanpa sinar.
            Apa yang tidak dikorbankannya. Dirinya. Hatinya. Jiwanya. Segalanya. Telah ia beri segalanya. Tapi manusia takpernah puas bahkan yang telah menggerogoti jiwanya hingga habis. Hingga menulang. Hingga jiwanya seolah terkelupas dari raganya. Dan raga yang ditinggalinya hanya sekadar tuk menumpang.
Perempuan itu tak menangis seberapa perih yang ia rasakan ia tidak juga menangis, apalagi menggugat apa yang membuatnya bersedih dan menangis. Ia terlalu baik, bahkan mungkin bagi apa yang dianggapnya sempurna. Apa yang dimilikinya, ia mungkin bisa seribu kali dapat yang lebih baik. Namun, ia tidak begitu. Ia memilih menjaga apa yang ia punya. Hingga apa yang terjaga itu sadar bahwa ia begitu menyayangi yang entah kapan datang.
Bahkan ketika tongkat yang menopangnya jatuh atau patah dia taklupa kembali membuatnya. Tidak melupa kembali bangun. Demi seseorang, yang ditunggunya. Tetapi, tetap tidak mengerti. 
Ia memercayai dalam kebohongan. Dan pasti serta selalu dalam jujur. Ia menopang di kala jatuh. Ia merangkul dalam perih.ia berada selalu dalam dekatnya ataupun jauhnya.  
“Aku sayang dia. Mungkin bodoh dan dangkal. Tapi, aku takakan menyesalinya. Seberapa kali Tuhan menganggap ini bodoh dan salah aku takakan mundur.”
Entah berapa kali sudah kata-kata itu dilontarkan dari mulutnya. Mulai ada bias dalam kata-katanya, sebenarnya kata-kata itu untuk menguatkan siapa. Untuk meyakini orang lain ataukah untuk dia yang takpernah mengeluh dalam segala sedihnya dan hanya memasukkan segalanya dalam jiwanya yang tinggal setengah.
“Aku tahu pasti matahariku berada di sebelahku. Aku tahu pasti ia ada. Aku tahu ia menyakitiku karena ia sayang. Ia terlalu sayang padaku hingga terik ini pun membuatku berada dalam kehangatan. Ia tak ingin menyakitiku. Tidak pernah terbesit dalam dirinya. Aku tahu itu.”
Benarkah yang ia katakan tentang apa yang jadi miliknya. Benarkah lelaki itu menyayanginya. Bahkan dengan menyakitinya. Benarkah hal itu. Aku ingin membangunkan perempuan ini tapi ia takmau. Yang ia tahu bahwa ia akan menjaga yang ia punya entah hingga kapan. Memaafkannya dalam salah arah. Takakan pergi meski ia tahu lelaki itu menyakitinya dengan sangat. Membunuh kepercayaannya yang penuh. Mengambil segala miliknya. Tapi, ia pun bergeming dan masih setia disana.
Ia menunggu sang lelaki. Dalam mabuk. Dalam hingar-bingar. Dalam sadar. Dalam sakau. Dalam keadaan apapun ia menunggu. Tapi apakah ia dapat sama banyak. Adakah lelakinya tahu bahwa ia begitu. Adakah lelaki itu akan melakukan yang sama banyak dengan apa yang ia lakukakn. Ia tak meminta sama banyak hanya sedikit dan ia itu pun masih sulit didapatkan wanita itu.
Hari ini sempurna. Ia bahagia. Mungki paling bahagia. Ia tertawa renyah. Tidak ada resah kali ini. Tapi, lelaki itu merusaknya. Kesempurnaan itu hilang. “Maaf ya Sayang”. Betapa mudah kata-kata itu. Betapa kata-kata itu dengan mudah menghapus segalanya.
Ia pun memaafkan lelakinya. Ia menunggu matahari untuk kembali membawanya dalam terang bersama lelakinya. Citranya masih sama dan akan tetap sama. Ia adalah kesempurnaan.

Untuk sahabatku dalam ketaksempurnaannya menunggu
dan atas apa yang telah dilepaskannya.
21 Mei 2009