Kamis, 03 Januari 2013

Perempuan Bayangan

Bukankah seharusnya malam takmenimbulkan bayangan apalagi saat bulan tidak bulat penuh?

Perempuan itu masih sama, ia ada karena cahaya dan takada saat tidak ada yang meneranginya. Ia bernama tapi tidak berjiwa. Ialah perempuan itu yang berkata ya saat sinar berkata ya. Ialah perempuan yang berkata tidak saat cahaya katakan tidak.

Hingga suatu hari ia sungguh limbung, cahaya ada tapi takada kata. Ia hanya jadi bayangan yang takmenentu arah. Ia tak pernah tahu apa yang dicarinya. Ia hanya mengikuti apa kata sinar. Entah dari matahari ataupun dari bulan. Ia hanya mampu berkata apa yang dikatakan oleh mereka yang mampu memberikan cahaya.

“Pergi ke sana kamu ia di sana kamu akan menemukan itu,” kata sebuah bola lampu.

Maka ia pun mencari jalan ke sana. Ia bukanlah seseorang yang  kritis, ia tidak pernah peduli. Ia hanya suka ada yang memberi petunjuk, ia hanya suka apa yang dikatakan orang lain. Ia tidak pernah sadar bahwa suatu hari mungkin tidak ada lagi yang akan berkata padanya apa yang harus ia lakukan.

Suatu ia kehilangan cahaya, takada sisa di sana. Ia goyah. Ia bahkan takmampu berdiri.

“Ke mana aku harus bertanya?”

Ia bukan takpunya teman. Ia hanya takpunya diri. Ia tidak menemu pada diri. Ia tidak pernah berusaha mencari dirinya. Ia mungkin suatu saat akan luruh, pergi jika tidak segera mencari kaki untuk dirinya. Mencari jati yang akan ia simpan di dalam dirinya.

Ia menyalahkan sekeliling.

“Ini karena kalian. Kalian bukan teman yang baik. Kalian tidak mendukung aku. Katanya kalian temanku? Ke mana kalian saat aku butuh kalian,” ungkap ia sambil meraung dan mengamuk.

Teman-teman ia mungkin bisa lebih marah, sebab mereka tahu bahwa ia yang salah. Saat ia menggantungkan dirinya pada cahaya yang bukan berasal dari dirinya. Saat ia berkata ya padahal harusnya tidak dan begitu pun sebaliknya.

Bukankah membahagiakan semua orang adalah kesia-siaan?

Mereka tidak berseteru. Tidak saling mencaci. Mereka masih mau berteman. Namun, mereka kehilangan arti. Mereka hilang dalam kata yang ada hanya basa-basi yang membuat jengah, seperti tidak ada perkenalan dan kedalaman makna yang pernah terjadi pada mereka.

Ia lalu menghilang. Seperti tanpa jejak. Ia bukan pergi karena tidak ada sinar. Ia kini berdiri namun entah di kaki siapa. Entah siapa yang menyinari. Ia menemukan kebahagiaan yang mungkin akhirnya ia ketahui. Sayangnya, saat ia menemukan yang ia cari, ia mengubur masa lalunya. Menguburnya hingga sumur terdalam. Takmenjawab saat ditanya. Takpernah berkata apa pun.

Teman-temannya bertanya-tanya ke mana ia pergi? Apakah ia baik-baik saja? Apakah ia bahagia? Bukankah teman yang baik adalah yang siap sedia seperti yang selalu diceritakan dalam tiap dongeng dan film-film.

Takada yang mampu menjawab. Ia terang dengan hidupnya dan sisanya tetap harus melaju. Mereka tidak bersinggungan. Hanya saling mendoakan.


Sibuk dalam ingatan
Lantai 16, 030113