Rabu, 21 Agustus 2013

Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya: Narasi Panjang Sepanjang Judulnya

Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya yang selanjutnya akan saya singkat jadi SPTJ adalah Pemenang Unggulan DKJ 2012. Novel ini berisi surat-surat seorang perempuan tentang perasaannya kepada seorang lelaki.

Jika saya sebagai penulis, saya akan bilang novel ini adalah novel yang aman. Jujur saja jika saya menulis saya selalu kesulitan tiap kali harus membuat percakapan yang luwes.

Dan saya melihat novel ini pun mengalami masalah demikian. Penulis sering kali kesulitan membuat percakapan yang luwes dan di novel ini jarang sekali ditemukan percakapan. Sekalinya ada percakapan pun diungkapkan dari si narator, bukan kutipan langsung. Meski begitu, si penulis sangat rinci menuliskan perasaannya, kemahiran yang biasanya memang lebih dimiliki penulis perempuan dibandingkan penulis laki-laki.

Masih jika saya penulis, tema novel ini sungguh sederhana, bahkan seorang teman dekat sangat menyesal ia tidak menyelesaikan tulisannya yang sialnya mirip dengan novel ini. Tentang sesuatu yang tidak tersampaikan. Tentang sesuatu yang jadi buah pikir entah telah berapa lama.

Nah sekarang sebagai pembaca, sungguh saya merasa perjalanan ini sangatlah panjang. Perasaan saya membaca novel ini mirip dengan perasaan saya saat membaca Amba. Amba jadi fantastis dengan resensinya dari GM, dan SPTJ dengan labelnya dari DKJ. Saya kira siapa yang tidak berekspetasi pada unggulan DKJ setelah Ayu Utami dengan Saman jadi pemenang. Meskipun bagi saya selanjutnya masih belum ada yang menyaingi Saman, semisal Hubbu yang kemenangannya jadi kontroversi atau Tanah Tabu yang juga tidak benar-benar meledak.

Untungnya SPTJ tidak seruwet Amba yang memasukkan banyak tokoh, jika ya novel ini benar-benar sepanjang judulnya.

Novel ini berisi surat-surat panjang tokohnya. Konsep surat kadang menarik, kadang tidak, dan dalam novel ini segalanya diungkap dengan begitu detail sehingga bagi saya, seolah narator keasyikan cerita dan ia lupa bahwa ia punya pendengar yang mungkin sekali jadi bosan dibuatnya.

Tanggal surat memang berurutan, berurutan berdasarkan keinginan si tokoh, lalu ia bilang hanya akan menulis sebulan sekali, lalu kembali semaunya. Namun, isinya acak, sesemrawut isi hati si tokoh. Ia maju mundur sesukanya, perasaan perempuan inilah yang menjadi benang merah. Tanggal dan urutan surat hanya jadi pertanda sudah sejauh mana ia menulis bagi saya. Hingga tiga perempat buku ini saya masih tidak sampai pada klimaks, padahal si tokoh sudah mengalami sakit parah seperti yang dia ungkap.

Bagi saya inilah kekurangan dari konsep surat. Dengan model surat yang utuh, pengenalan-klimaks-antiklimaks ada dalam tiap suratnya. Hasilnya pembaca diajak naik turun tanpa henti, dan dalam novel ini si narator menulis dengan cara yang sama berulang kali. Bukan pula jadi teror, perasaan kosong perempuan ini pun hanya jadi numpang lewat padahal ia sudah mengungkapkannya dengan sangat rinci.

Bahkan saat ia ketakutan akan kematian yang ia gambarkan dengan segitunya pun masih sulit menggugah saya. Padahal, di awal buku, si kurir yang merasa perlu untuk menyampaikan surat ini sudah memberi bocoran mengapa surat-surat panjang ini harus disampaikan.

Pada akhirnya saya merekomendasikan buku ini untuk mereka yang tidak bisa move on atau mereka yang tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan. Percayalah bahwa perasaan yang selesai adalah perasaan yang sampai dan mampu diungkapkan.

Rabu, 14 Agustus 2013

Fatwamu

Katamu kamu ingin melihat danau yang tenang di tengah kota. Bagiku katamu adalah fatwa, taklagi kuingat bahwa ini tengah malam. Aku ingin berada dii sebuah danau tepat di tengah kota. Hanya untuk senyum di wajahmu.

Bertahun-tahun ini aku tidak lagi pernah bertanya kita ini apa. Tahun-tahun yang lewat kubiarkan jadi ingatan. Kau berganti-ganti perempuan dan aku tetap menjdi perempuan yang sendiri.

Sendiri ini jelas konotasi. Sejauh yang aku ingat aku tidak pernah benar-benar sendirian. Selalu ada banyak orang di sekitar. Mereka selalu ada dan kamu masih selalu wara-wiri di hatiku.

Katamu adalah fatwa bagiku.

Serupa makanan yang katanya tidak berlabel halal dan takakan mampu aku cerna tanpa izinmu.

Kita telah lama terpisah. Surat elektronik tidak lagi pernah sampai. Aku ingin meneriakimu betapa aku rindu kamu. Akan tetapi, aku tercekat. Hingga pertemuan pertama kita setelah sekian tahun aku hanya mampu menitikan air mata.

Seharusnya pertemuan kita jadi dramatis. Harusnya aku pura-pura tegar menemukanmu bersama perempuan lain. Perempuan yang ingin kamu nikahi. Sayangnya itu tidak terjadi.

Aku hanya menemukan matamu yang kuyu. Entah berapa ratus batang rokok di dalam asbak. Aku menemukan bibirmu menghitam sekelam matamu.

Aku takpernah punya jawaban untuk matamu yang redup. Mungkin itu pula penyebab hubungan kita takpernah ada kemajuan. Meskipun begitu, aku ingin sekali berlaku yang tepat, berlaku yang kau inginkan. Hingga perempuan itu datang dan aku kembali tidak terlihat.

***

Siapa bisa mengira aku kembali kehilangan jejakmu. Kali ini aku lelah mencari, hanya saja aku masih menunggu.

Siapa yang meramalkan bahwa suatu saat kamu dan aku menjadi kita, hanya saja aku masih mau mengamini.

Apakah mengamini pun harapan? Masihkah harapanmu seperti yang aku ingat? Tentang hidup yang jauh dari bising. Tentang hidup yang hanya penuh dengan tawa dan rak buku.

Aku kini bahkan tidak tahu lagi buku apa yang kamu sukai. Masihkah kamu suka puisi-puisi yang tidak pernah aku mengerti?

Aku memejam mata. Berdoa. Smoga matamu hal yang pertama aku lihat pagi nanti.

***

Kamu datang, bola matamu jadi hal pertama yang aku lihat. Kali ini pun mungkin hanya sebentar. Kamu tidak berhenti bicara tentang danau yang hadir di mimpimu. Tentang danau yang luas di tengah kota. Aku hanya terdiam.

Entah mengapa mataku panas. Kakiku bergerak hebat. Aku tahu aku lelah. Aku tahu aku taklagi ingin mendengar tiap katamu yang jadi fatwa bagiku.

Aku tahu bahwa aku taklagi ingin mengaminimu bahwa danau di kota ini telah lama hilang.

Aku tahu bahwa aku sudah bosan mengamini tiap rangkai katamu. Tiap ulahmu. Dan betapa aku menyadari kamu tuan tidak diuntung.

Aku tahu bahwa kali ini aku yang akan meninggalkanmu.

Aku tidak pernah ingin melihat danau di tengah kota.

Serpong, 14 Agustus 2013

Senin, 05 Agustus 2013

Tanah Abang, Tempat Sakralnya Shaum Habis Sudah

Untuk kalian ketahui bahwa saya menulis ini dengan segala gemuruh di dada. Bagaimana tidak, Stasiun Tanah Abang, pintu saya menuju Jakarta di hari-hari Ramadan dan mendekati Idul Fitri adalah neraka, cobaan terbesar yang harus saya hadapi selama sehari penuh.

Saya ingat di Sabtu dan Minggu sebelum masuk Ramadan Stasiun Tanah Abang penuhnya minta ampun. Ibu-ibu bar-bar yang ga punya aturan duduk di mana-mana mereka mau dan itu ternyata berlangsung sebulan penuh.

Lalu hari ini saya memuncak, hari ini adalah H-3 atau H-4 Lebaran dan kalian tahu petugas sampai harus menutup pintu masuk ke stasiun.

Di luar ibu-ibu ini menunggu sambil makan bakso dan menyeruput es kelapa.

Di dalam mereka duduk di mana saja, meludah di mana saja.

Saya jadi makin geram, mereka yang pulang naik kereta sangat ingin di mengerti bahwa mereka pulang berbelanja.

Padahal, puasa pun tidak. Mereka begitu mengharapkan duduk di dalam kereta.

Padahal, sedari pagi mereka berkeliling Pasar Tanah Abang.

Saya bukan habis belanja, saya mau pulang setelah macul di hari-hari yang seharusnya cuti bersama. Saya tidak minta di mengerti, saya hanya meminta bahwa kita sama belajar menghargai.

Bahwa mereka makan dan minum itu urusan mereka. Akan tetapi, mereka bisa kan buang sampah di tempatnya, begitu juga dengan meludah di tempat sampah.

Bahwa mereka mau ngobrol hingga sampai di tujuan adalah urusan mereka. Akan tetapi, mengobrol dengan volume wajar akan mengurangi bising yang sudah maksimal.

Bahwa kita sama ingin duduk dan saat saya dapat duduk dan anda tidak itu adalah ketidakberuntungan anda yang tidak perlu anda bagi dengan saya.

Demikian curahan hati seseorang yang tinggal di kampung dan harus urbanisasi tiap hari demi sebongkah berlian.

Tanah Abang - Serpong, 5 Juli 2013.