Rabu, 30 Oktober 2013

Dua Tahun Menerjang Jakarta

Ini Oktober ketiga

Tidak pernah terbayangkan bahwa akan menerjang Jakarta selama ini. Menelurusi nadinya sedalam ini dan yang terparah adalah tenggelam sejauh ini.

Dua tahun Jakarta saya lalui dan di akhir dua tahun menerjangmu (akhirnya) saya bukan hanya menetap di ruang kotak.

Menemukan hal baru ternyata masih selalu lebih menyenangkan dan betapa saya masih ingin (jika mampu) tidak hanya menetap di sini.

Kota ini selalu mengajak terburu-buru, mengajak melangkah dengan cepat,  sayangnya saya masih mau jalan perlahan, tidak buru-buru dan menikmati tiap langkah saya.

Di kota ini untuk itu saya harus menunggu hingga jauh malam dan masih mendengar deru kendaraan. Ternyata saya selalu masih rindu wangi tanah basah lebih dari apa pun.

Dua tahun menerjang Jakarta saya makin sadar betapa saya peragu di antara segala yang harus cepat, ada yang muak karena itu, tetapi mengapa saya harus peduli saat kebahagiaan saya yang bukan berasal dari segala yang sumbing.

Saya memilih bahagia walaupun menjadi pragmatis menjadi hal sulit karena "so-sial" adalah bagian yang dulu takterpisahkan.

Saya merindukan suaka untuk lari, sayangnya sekarang segala tenggat mengejar tanpa kenal waktu dan suaka hanya pelarian yang bahkan tidak mampu mengeringkan air mata.

Namun kebahagiaan ada di tiap sudut

Jakarta masih menyisakan banyak orang baik di antara segala kemuraman hari. Pendar lampu di antara hujan selalu jadi hal yang romantis. Ya, saya jatuh hati pada lampu yang disiram hujan di Jakarta sembari membayangkan saya berada di Paris.

Gedung-gedung sepanjang jalan Thamrin selalu mengingatkan saya pada cerpen "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan". Seandai Umar Khayam masih hidup mungkin dia akan melihat Jakarta yang bermimpi jadi Amerika, seperti saya yang bermimpi melihat kunang-kunang di kota ini.

Jakarta masih memberi sedikit sekat pada jingganya senja yang kadang masih bisa ditunggu, seperti Sukab akan selalu mencuri senja bagi Alina.

Jakarta masih punya keramahamnya meski tidak banyak dan saya berusaha keras untuk menemukannya untuk sekadar bertahan.

Ya saya mulai jatuh cinta pada Jakarta, tapi saya masih bermimpi hanya mau menjadikannya tempat singgah.

Saya masih selalu lebih suka angin basah dan deru ombak. Biru yang tidak berujung masih lebih memikat saya dari sengat terik di tengah hari.

Saya iri pada Seno Gumira yang masih mampu meramu kata indah untuk Alina di antara macetnya kota.

Saya benci lebih banyak memilih tidur dan membuka ponsel daripada membaca buku dan merangkai kata indah untuk diri sendiri. Saya rindu duduk menatap kegiatan orang lain sambil menertawakan diri sendiri meski diri sendiri kini adalah lelucon terbesar yang patut ditertawakan.

Menciptakan kebahagiaan
Manusia berkembang dan mimpi pun berkembang. Maka saya menciptakan kebahagiaan di antara cangkir kopi dan obrolan hangat bersama yang terkasih. Menyapa secara personal mereka yang saya sayangi saat tatap muka masih harus menunggu waktu.

Jakarta adalah meluangkan waktu, menciptakan kebahagiaan, melangkah, bukan sekadar menunggu dan mengodekannya.

Jakarta adalah macet yang smoga tidak lagi perlu saya keluhkan.

Tanah Abang - Serpong
30 Oktober 2013