Perempuan itu masih sama, ia ada karena cahaya dan takada
saat tidak ada yang meneranginya. Ia bernama tapi tidak berjiwa. Ialah perempuan
itu yang berkata ya saat sinar berkata ya. Ialah perempuan yang berkata tidak
saat cahaya katakan tidak.
Hingga suatu hari ia sungguh limbung, cahaya ada tapi takada
kata. Ia hanya jadi bayangan yang takmenentu arah. Ia tak pernah tahu apa yang
dicarinya. Ia hanya mengikuti apa kata sinar. Entah dari matahari ataupun dari
bulan. Ia hanya mampu berkata apa yang dikatakan oleh mereka yang mampu
memberikan cahaya.
“Pergi ke sana kamu ia di sana kamu akan menemukan itu,”
kata sebuah bola lampu.
Maka ia pun mencari jalan ke sana. Ia bukanlah seseorang
yang kritis, ia tidak pernah peduli. Ia hanya
suka ada yang memberi petunjuk, ia hanya suka apa yang dikatakan orang lain. Ia
tidak pernah sadar bahwa suatu hari mungkin tidak ada lagi yang akan berkata
padanya apa yang harus ia lakukan.
Suatu ia kehilangan cahaya, takada sisa di sana. Ia goyah. Ia
bahkan takmampu berdiri.
“Ke mana aku harus bertanya?”
Ia bukan takpunya teman. Ia hanya takpunya diri. Ia tidak
menemu pada diri. Ia tidak pernah berusaha mencari dirinya. Ia mungkin suatu
saat akan luruh, pergi jika tidak segera mencari kaki untuk dirinya. Mencari jati
yang akan ia simpan di dalam dirinya.
Ia menyalahkan sekeliling.
“Ini karena kalian. Kalian bukan teman yang baik. Kalian tidak
mendukung aku. Katanya kalian temanku? Ke mana kalian saat aku butuh kalian,”
ungkap ia sambil meraung dan mengamuk.
Teman-teman ia mungkin bisa lebih marah, sebab mereka tahu
bahwa ia yang salah. Saat ia menggantungkan dirinya pada cahaya yang bukan
berasal dari dirinya. Saat ia berkata ya padahal harusnya tidak dan begitu pun
sebaliknya.
Bukankah membahagiakan semua orang adalah kesia-siaan?
Mereka tidak berseteru. Tidak saling mencaci. Mereka masih
mau berteman. Namun, mereka kehilangan arti. Mereka hilang dalam kata yang ada
hanya basa-basi yang membuat jengah, seperti tidak ada perkenalan dan kedalaman
makna yang pernah terjadi pada mereka.
Ia lalu menghilang. Seperti tanpa jejak. Ia bukan pergi
karena tidak ada sinar. Ia kini berdiri namun entah di kaki siapa. Entah siapa
yang menyinari. Ia menemukan kebahagiaan yang mungkin akhirnya ia ketahui. Sayangnya,
saat ia menemukan yang ia cari, ia mengubur masa lalunya. Menguburnya hingga
sumur terdalam. Takmenjawab saat ditanya. Takpernah berkata apa pun.
Teman-temannya bertanya-tanya ke mana ia pergi? Apakah ia
baik-baik saja? Apakah ia bahagia? Bukankah teman yang baik adalah yang siap
sedia seperti yang selalu diceritakan dalam tiap dongeng dan film-film.
Takada yang mampu menjawab. Ia terang dengan hidupnya dan
sisanya tetap harus melaju. Mereka tidak bersinggungan. Hanya saling mendoakan.
Sibuk dalam ingatan
Lantai 16, 030113