Senin, 30 Desember 2013

2013 dan Hal-Hal yang Belum Selesai

2013 begitu cepat berlalu, katanya jika betah di dunia waktu akan berjalan tanpa terasa. Mungkin iya, mungkin juga tidak.

Banyak yang terencana, banyak yang masih cuma jadi rencana.

Pilihannya adalah kembali merencanakan hal itu atau memulai rencana lain. Mengapa Tuhan bisa begitu baik, membuat harapan dengan cuma-cuma?

Membiarkan kita memilih. Tahun depan apa pilihanmu? Aku memilih tidak memilih untuk beberapa hal. Mengalir seperti air hingga sampai ke hilir.

Smoga air tidak terlalu deras mengalir. Smoga air tidak pula surut sebelum sampai.
Smoga yang terbaik itu akan selalu terhampar.

Selamat tinggal 2013, smoga hal baik padamu akan sampai di 2014.

Selamat tinggal 2013, smoga yang buruk padamu tidak ikut ke 2014.

Selamat tinggal 2013, kamu akan selalu spesial seperti yang pernah direncanakan.

Selamat datang 2014, mari kita beradu nasib.

Saat Hujan di Jakarta Jadi Begitu Menarik

Saya pasti bukan satu-satunya orang yang begitu mengutuk Jakarta, yang menolak menetap di sana, namun takkunjung mampu meninggalkannya.

Akhirnya saya memutuskan untuk mencari kesenangan di Jakarta, kesenangan yang "gw banget".

Untuk sebagian orang kesenangan di Jakarta adalah mall. Mall di Jakarta bagi saya seperti macet, ada di setiap sudut kota ini. Saya kenal seorang teman yang kesenangannya dari satu mall ke mall lain, yang kalau diajak jalan kaki akan bilang pegel, tapi hapal tiap sudut Grand Indonesia dan tidak pernah lelah memutari mall tersebut.

Mall sebagai tempat segala ada bagaikan nirwana yang menguras kantong, dari makanan enak hingga hiburan lainnya, dari musik hingga film, dan mungkin buku-buku yang peminatnya tidak sebanyak dua hiburan sebelumnya.

Di kota ini mall seperti nirwana yang menyediakan segala hal, dan jika nirwana tersedia bagi mereka yang berbuat baik, maka mall tersedia bagi mereka yang berkantong tebal.

Apakah itu kesenangan yang "gw banget" bagi saya? Mungkin belum, saya tidak akan munafik bahwa saya pun kerap kali ke sana, tapi kadang, akhir-akhir ini saya tahu bahwa kesenangan saya pun bisa tercipta dengan segelas kopi, teman ngobrol asyik, dan ditutup dengan pelukan hangat.

Kesenangan kedua adalah bertemu dengan senja yang menarik di Jakarta. Senja di Jakarta memang sulit ditemukan, namun bukan berarti tidak ada. Dan karena sulitnya itu kita makin sadar betapa ia memang pantas untuk dicari.

Senja di kota nan padat ini mungkin kurang syahdu karena beradu nasib dengan suara kendaraan, dengan macet, dan kadang makian. Namun, Tuhan memberinya secara gratis, kita hanya butuh menemukannya dan sekadar diam untuk menikmati.

Penduduk kota ini pasti sudah sangat hapal betapa kota ini sungguh diatur cuaca, Jakarta akan sangat semrawut di kala hujan apalagi ditambah banjir. Namun, sesekali cobalah jalan sepanjang Thamrin, yang konon listrik di sepanjang jalan itu dapat menerangi seluruh pulau Kalimantan.

Jalanlah saat hujan rintik di atas pukul sembilan malam. Berdiri di bawah tiang lampu dan menengadahkan ke lampu, gedung-gedung pencakar langit itu pasti akan nampak lebih indah, lebih puitis, tidak angkuh seperti saat ia dihujani matahari. 

Jalanan di kota ini bahkan kadang punya komedinya sendiri, saat para penjual kopi keliling yang saat ini sedang tren di Jakarta duduk di trotoar untuk bermain catur-caturan dengan batu. Ah mungkin hanya saya saja yang berlebihan yang melihatnya. Namun saya merasakan kelegaan saat melihat banyak kesederhaan terjadi di kota ini. 

Dan beberapa waktu lalu Tuhan mengajak saya bertemu dengan hal menarik lain di kota ini. Kehujanan massal di Monas. Ternyata Monas jadi lebih menarik saat hujan, saat langit begitu gelap dan ini menjadi pusat semesta dengan lampu kota sebagai bintang-bingtangnya. 

Sayangnya untuk menikmati keindahan ini saya harus kuyup, Monas tidak menyediakan tempat berteduh dan sekali lagi, dengan tangan pemerintah, Tuhan memberikan Monas yang romantis kala hujan dengan gratis. 

Rabu, 06 November 2013

Di dalam Gerbong

Kamu menoleh dan yang terpantul masih hanya wajah pucat itu.

Kaca-kaca itu gelap, seperti malam tanpa bintang, seperti espresso yang kau tenggak tanpa sisa. Kamulah satu-satunya penumpang tersisa, kamu menjadi penumpang terakhir. Akan tetapi, hatimu sudah lama tidak bersamamu di kereta.

Kakimu melangkah, ia sudah tahu meski tidak lagi perlu kamu perintahkan.

Dulu kamu selalu menanti saat di kereta, kamu membayangkan "Serendipity" bahwa tanpa kata kalian akan di gerbong yang sama. Namun kini kereta adalah neraka saat kamu tahu bahwa kalian tidak perlu lagi menerka.

Hatimu nelangsa, tapi takpernah kamu ucapkan. Matamu merah namun kamu berusaha agar tidak basah.

***

Matahari bewarna Barbie, desak-desakan itu membahagiakanmu. Takada kata hanya pandangan mata. Tidak satu sentuhan pun di antara kalian hingga stasiun terakhir tapi hatimu tidak bisa lebih berbahagia.

Obrolan itu meluncur tanpa kata. Kamu selalu senang saat tatapan kalian beradu. Ketika di bola matanya hanya wajahmu.

Awalnya hanya saat berangkat, detik-detik berikutnya kalian mencoba mencocokan waktu meski tanpa janji.

Hari itu stasiun penuh dengan manusia, kamu berduka. Harimu buruk dan kamu tahu betapa brengseknya Jakarta. Kamu tidak akan dapat tempat duduk. Kamu bermuram durja.

Tiba-tiba saja kamu sudah dialiri kehangatan, kamu taklagi bisa berbohong. Hatimu melonjak, kamu tahu bahwa sentuhannya yang setitik membuat awan gelap itu mulai hilang.

Ia tidak mengucapkan kata "kenapa" ia tidak berucap mesra. Ia hanya memberi sentuhan tepat di ubun-ubun kepala dan sebotol air putih.

Kamu ingin melonjak, membawanya ke warung kopi favoritmu, di sofa empuk dan lampu redup. Namun, kamu ingat bahwa dunia kalian hanya ada di dalam gerbong.

Kehadirannya membuatmu gila. Membuatmu ingin kereta mogok dan waktu berhenti di dalam gerbong. Kamu ingin ia selalu menjagamu di antara rem kereta yang tiba-tiba.

Hari ini kamu berbahagia. Kamu ingin berbagi dengannya. Kamu berdoa dalam hati, "smoga di gerbong ini ada wajahmu."

"Sudimara," suara itu meraung dan detak jantungmu selalu lebih cepat saat mendengarnya.

Tapi kamu kecewa. Tidak kamu temukan wajahnya padahal kamu menyiapkan sekotak susu ultra untuknya. Kamu bertanya-tanya namun takut menerka.

"Tanah Abang," harapanmu di dalam gerbong habis saat keretamu menepi di jantung kota. Kamu melangkah sambil menggenggam susu untuknya.

Jantungmu hampir copot saat ada yang ingin merebutnya. Ternyata itu dia, matanya sisa segaris karena senyum tulus seperti biasa. Rambutnya berantakan tidak seperti biasa.

Kamu takut. Kamu sadar betul segalanya hanya soal waktu. Saat matanya meredup. Saat di matanya tidak lagi ada wajahmu. Akan tetapi, kamu juga sadar. Sakit hati bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari, dilatih, pun dipersiapkan.

Saat hari itu tiba.

Matanya redup saat matamu penuh cahaya. Ia tidak terlihat seperti biasanya. Kamu melihatnya seperti melihat melihat seseorang tanpa satu kebahagiaan pun tersisa.

Kamu ingin memeluknya. Memegang puncak kepalanya seperti yang biasa ia lakukan.

Ia menepisnya tanpa kata.

Hari itu kamu tahu segalanya akan berakhir. Hari saat matahari kembali terik. Saat penuhnya kereta kembali menyakiti tiap jengkal tubuhmu. Kamu ingin menangis sejadi-jadinya. Menahannya untuk tidak meninggalkamu.

Kamu tahu kamu tidak perdaya.

Kalian tidak pernah memulai dengan kata.

Hari itu ia menggenggam tanganmu, bukan sekadar sentuhan.

Hari itu ia memintamu duduk di sebelahnya menghadap matahari. Kamu menurutinya.

Matahari sudah jauh. Malam pekat telah datang. Kamu sudah bisa lihat lampu-lampu Jakarta menyala terang. Dan suara klakson di kejauhan.

Kalian menaiki kereta terakhir. Ia memintamu duduk sementara ia berdiri. Ia berdiri di depanmu.

Seperti biasa ia akan turun lebih dulu. Kamu ingin menahannya.

"Sudimara," suara pengeras suara terdengar seperti lengkingan yang menyesakkan.

Ia menjauh. Pintu tertutup. Kamu membayangkan dirimu menekan rem mendadak seperti dalam film-film dan menghentikannya, menahannya untuk pergi dan beradu bibir hingga perih.

Sayangnya,  kamu hanya terduduk tanpa ingin bangun lagi.

"Serpong."

Kamu sampai, tatapanmu kosong. Kamu tahu kamu selalu terpisah sekaligus menyatu dengan Jakarta. Seperti dunia yang pernah kalian punya yang hanya mengantarkan pasa tujuan.

***

Kamu tahu yang membuatmu pucat adalah kamu melihatnya, menggenggm tangan perempuan lain. Kamu tahu yang membuat malam begitu pekat adalah matanya yang segaris bukan untukmu.

Kalian tidak pernah memulainya dengn kata. Ia tidak mengucapka cinta. Mata kalian beradu dan kamu tahu ini hanya di dalam gerbong.

Tanah Abang - Serpong
7-8 November 2013

Rabu, 30 Oktober 2013

Dua Tahun Menerjang Jakarta

Ini Oktober ketiga

Tidak pernah terbayangkan bahwa akan menerjang Jakarta selama ini. Menelurusi nadinya sedalam ini dan yang terparah adalah tenggelam sejauh ini.

Dua tahun Jakarta saya lalui dan di akhir dua tahun menerjangmu (akhirnya) saya bukan hanya menetap di ruang kotak.

Menemukan hal baru ternyata masih selalu lebih menyenangkan dan betapa saya masih ingin (jika mampu) tidak hanya menetap di sini.

Kota ini selalu mengajak terburu-buru, mengajak melangkah dengan cepat,  sayangnya saya masih mau jalan perlahan, tidak buru-buru dan menikmati tiap langkah saya.

Di kota ini untuk itu saya harus menunggu hingga jauh malam dan masih mendengar deru kendaraan. Ternyata saya selalu masih rindu wangi tanah basah lebih dari apa pun.

Dua tahun menerjang Jakarta saya makin sadar betapa saya peragu di antara segala yang harus cepat, ada yang muak karena itu, tetapi mengapa saya harus peduli saat kebahagiaan saya yang bukan berasal dari segala yang sumbing.

Saya memilih bahagia walaupun menjadi pragmatis menjadi hal sulit karena "so-sial" adalah bagian yang dulu takterpisahkan.

Saya merindukan suaka untuk lari, sayangnya sekarang segala tenggat mengejar tanpa kenal waktu dan suaka hanya pelarian yang bahkan tidak mampu mengeringkan air mata.

Namun kebahagiaan ada di tiap sudut

Jakarta masih menyisakan banyak orang baik di antara segala kemuraman hari. Pendar lampu di antara hujan selalu jadi hal yang romantis. Ya, saya jatuh hati pada lampu yang disiram hujan di Jakarta sembari membayangkan saya berada di Paris.

Gedung-gedung sepanjang jalan Thamrin selalu mengingatkan saya pada cerpen "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan". Seandai Umar Khayam masih hidup mungkin dia akan melihat Jakarta yang bermimpi jadi Amerika, seperti saya yang bermimpi melihat kunang-kunang di kota ini.

Jakarta masih memberi sedikit sekat pada jingganya senja yang kadang masih bisa ditunggu, seperti Sukab akan selalu mencuri senja bagi Alina.

Jakarta masih punya keramahamnya meski tidak banyak dan saya berusaha keras untuk menemukannya untuk sekadar bertahan.

Ya saya mulai jatuh cinta pada Jakarta, tapi saya masih bermimpi hanya mau menjadikannya tempat singgah.

Saya masih selalu lebih suka angin basah dan deru ombak. Biru yang tidak berujung masih lebih memikat saya dari sengat terik di tengah hari.

Saya iri pada Seno Gumira yang masih mampu meramu kata indah untuk Alina di antara macetnya kota.

Saya benci lebih banyak memilih tidur dan membuka ponsel daripada membaca buku dan merangkai kata indah untuk diri sendiri. Saya rindu duduk menatap kegiatan orang lain sambil menertawakan diri sendiri meski diri sendiri kini adalah lelucon terbesar yang patut ditertawakan.

Menciptakan kebahagiaan
Manusia berkembang dan mimpi pun berkembang. Maka saya menciptakan kebahagiaan di antara cangkir kopi dan obrolan hangat bersama yang terkasih. Menyapa secara personal mereka yang saya sayangi saat tatap muka masih harus menunggu waktu.

Jakarta adalah meluangkan waktu, menciptakan kebahagiaan, melangkah, bukan sekadar menunggu dan mengodekannya.

Jakarta adalah macet yang smoga tidak lagi perlu saya keluhkan.

Tanah Abang - Serpong
30 Oktober 2013


Senin, 16 September 2013

Yang tidak kuberi judul

Aku memilihmu tapi ternyata kamu memilihkan hidup. Mungkin beginilah caranya takdir berjalan.

Rabu, 21 Agustus 2013

Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya: Narasi Panjang Sepanjang Judulnya

Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya yang selanjutnya akan saya singkat jadi SPTJ adalah Pemenang Unggulan DKJ 2012. Novel ini berisi surat-surat seorang perempuan tentang perasaannya kepada seorang lelaki.

Jika saya sebagai penulis, saya akan bilang novel ini adalah novel yang aman. Jujur saja jika saya menulis saya selalu kesulitan tiap kali harus membuat percakapan yang luwes.

Dan saya melihat novel ini pun mengalami masalah demikian. Penulis sering kali kesulitan membuat percakapan yang luwes dan di novel ini jarang sekali ditemukan percakapan. Sekalinya ada percakapan pun diungkapkan dari si narator, bukan kutipan langsung. Meski begitu, si penulis sangat rinci menuliskan perasaannya, kemahiran yang biasanya memang lebih dimiliki penulis perempuan dibandingkan penulis laki-laki.

Masih jika saya penulis, tema novel ini sungguh sederhana, bahkan seorang teman dekat sangat menyesal ia tidak menyelesaikan tulisannya yang sialnya mirip dengan novel ini. Tentang sesuatu yang tidak tersampaikan. Tentang sesuatu yang jadi buah pikir entah telah berapa lama.

Nah sekarang sebagai pembaca, sungguh saya merasa perjalanan ini sangatlah panjang. Perasaan saya membaca novel ini mirip dengan perasaan saya saat membaca Amba. Amba jadi fantastis dengan resensinya dari GM, dan SPTJ dengan labelnya dari DKJ. Saya kira siapa yang tidak berekspetasi pada unggulan DKJ setelah Ayu Utami dengan Saman jadi pemenang. Meskipun bagi saya selanjutnya masih belum ada yang menyaingi Saman, semisal Hubbu yang kemenangannya jadi kontroversi atau Tanah Tabu yang juga tidak benar-benar meledak.

Untungnya SPTJ tidak seruwet Amba yang memasukkan banyak tokoh, jika ya novel ini benar-benar sepanjang judulnya.

Novel ini berisi surat-surat panjang tokohnya. Konsep surat kadang menarik, kadang tidak, dan dalam novel ini segalanya diungkap dengan begitu detail sehingga bagi saya, seolah narator keasyikan cerita dan ia lupa bahwa ia punya pendengar yang mungkin sekali jadi bosan dibuatnya.

Tanggal surat memang berurutan, berurutan berdasarkan keinginan si tokoh, lalu ia bilang hanya akan menulis sebulan sekali, lalu kembali semaunya. Namun, isinya acak, sesemrawut isi hati si tokoh. Ia maju mundur sesukanya, perasaan perempuan inilah yang menjadi benang merah. Tanggal dan urutan surat hanya jadi pertanda sudah sejauh mana ia menulis bagi saya. Hingga tiga perempat buku ini saya masih tidak sampai pada klimaks, padahal si tokoh sudah mengalami sakit parah seperti yang dia ungkap.

Bagi saya inilah kekurangan dari konsep surat. Dengan model surat yang utuh, pengenalan-klimaks-antiklimaks ada dalam tiap suratnya. Hasilnya pembaca diajak naik turun tanpa henti, dan dalam novel ini si narator menulis dengan cara yang sama berulang kali. Bukan pula jadi teror, perasaan kosong perempuan ini pun hanya jadi numpang lewat padahal ia sudah mengungkapkannya dengan sangat rinci.

Bahkan saat ia ketakutan akan kematian yang ia gambarkan dengan segitunya pun masih sulit menggugah saya. Padahal, di awal buku, si kurir yang merasa perlu untuk menyampaikan surat ini sudah memberi bocoran mengapa surat-surat panjang ini harus disampaikan.

Pada akhirnya saya merekomendasikan buku ini untuk mereka yang tidak bisa move on atau mereka yang tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan. Percayalah bahwa perasaan yang selesai adalah perasaan yang sampai dan mampu diungkapkan.

Rabu, 14 Agustus 2013

Fatwamu

Katamu kamu ingin melihat danau yang tenang di tengah kota. Bagiku katamu adalah fatwa, taklagi kuingat bahwa ini tengah malam. Aku ingin berada dii sebuah danau tepat di tengah kota. Hanya untuk senyum di wajahmu.

Bertahun-tahun ini aku tidak lagi pernah bertanya kita ini apa. Tahun-tahun yang lewat kubiarkan jadi ingatan. Kau berganti-ganti perempuan dan aku tetap menjdi perempuan yang sendiri.

Sendiri ini jelas konotasi. Sejauh yang aku ingat aku tidak pernah benar-benar sendirian. Selalu ada banyak orang di sekitar. Mereka selalu ada dan kamu masih selalu wara-wiri di hatiku.

Katamu adalah fatwa bagiku.

Serupa makanan yang katanya tidak berlabel halal dan takakan mampu aku cerna tanpa izinmu.

Kita telah lama terpisah. Surat elektronik tidak lagi pernah sampai. Aku ingin meneriakimu betapa aku rindu kamu. Akan tetapi, aku tercekat. Hingga pertemuan pertama kita setelah sekian tahun aku hanya mampu menitikan air mata.

Seharusnya pertemuan kita jadi dramatis. Harusnya aku pura-pura tegar menemukanmu bersama perempuan lain. Perempuan yang ingin kamu nikahi. Sayangnya itu tidak terjadi.

Aku hanya menemukan matamu yang kuyu. Entah berapa ratus batang rokok di dalam asbak. Aku menemukan bibirmu menghitam sekelam matamu.

Aku takpernah punya jawaban untuk matamu yang redup. Mungkin itu pula penyebab hubungan kita takpernah ada kemajuan. Meskipun begitu, aku ingin sekali berlaku yang tepat, berlaku yang kau inginkan. Hingga perempuan itu datang dan aku kembali tidak terlihat.

***

Siapa bisa mengira aku kembali kehilangan jejakmu. Kali ini aku lelah mencari, hanya saja aku masih menunggu.

Siapa yang meramalkan bahwa suatu saat kamu dan aku menjadi kita, hanya saja aku masih mau mengamini.

Apakah mengamini pun harapan? Masihkah harapanmu seperti yang aku ingat? Tentang hidup yang jauh dari bising. Tentang hidup yang hanya penuh dengan tawa dan rak buku.

Aku kini bahkan tidak tahu lagi buku apa yang kamu sukai. Masihkah kamu suka puisi-puisi yang tidak pernah aku mengerti?

Aku memejam mata. Berdoa. Smoga matamu hal yang pertama aku lihat pagi nanti.

***

Kamu datang, bola matamu jadi hal pertama yang aku lihat. Kali ini pun mungkin hanya sebentar. Kamu tidak berhenti bicara tentang danau yang hadir di mimpimu. Tentang danau yang luas di tengah kota. Aku hanya terdiam.

Entah mengapa mataku panas. Kakiku bergerak hebat. Aku tahu aku lelah. Aku tahu aku taklagi ingin mendengar tiap katamu yang jadi fatwa bagiku.

Aku tahu bahwa aku taklagi ingin mengaminimu bahwa danau di kota ini telah lama hilang.

Aku tahu bahwa aku sudah bosan mengamini tiap rangkai katamu. Tiap ulahmu. Dan betapa aku menyadari kamu tuan tidak diuntung.

Aku tahu bahwa kali ini aku yang akan meninggalkanmu.

Aku tidak pernah ingin melihat danau di tengah kota.

Serpong, 14 Agustus 2013

Senin, 05 Agustus 2013

Tanah Abang, Tempat Sakralnya Shaum Habis Sudah

Untuk kalian ketahui bahwa saya menulis ini dengan segala gemuruh di dada. Bagaimana tidak, Stasiun Tanah Abang, pintu saya menuju Jakarta di hari-hari Ramadan dan mendekati Idul Fitri adalah neraka, cobaan terbesar yang harus saya hadapi selama sehari penuh.

Saya ingat di Sabtu dan Minggu sebelum masuk Ramadan Stasiun Tanah Abang penuhnya minta ampun. Ibu-ibu bar-bar yang ga punya aturan duduk di mana-mana mereka mau dan itu ternyata berlangsung sebulan penuh.

Lalu hari ini saya memuncak, hari ini adalah H-3 atau H-4 Lebaran dan kalian tahu petugas sampai harus menutup pintu masuk ke stasiun.

Di luar ibu-ibu ini menunggu sambil makan bakso dan menyeruput es kelapa.

Di dalam mereka duduk di mana saja, meludah di mana saja.

Saya jadi makin geram, mereka yang pulang naik kereta sangat ingin di mengerti bahwa mereka pulang berbelanja.

Padahal, puasa pun tidak. Mereka begitu mengharapkan duduk di dalam kereta.

Padahal, sedari pagi mereka berkeliling Pasar Tanah Abang.

Saya bukan habis belanja, saya mau pulang setelah macul di hari-hari yang seharusnya cuti bersama. Saya tidak minta di mengerti, saya hanya meminta bahwa kita sama belajar menghargai.

Bahwa mereka makan dan minum itu urusan mereka. Akan tetapi, mereka bisa kan buang sampah di tempatnya, begitu juga dengan meludah di tempat sampah.

Bahwa mereka mau ngobrol hingga sampai di tujuan adalah urusan mereka. Akan tetapi, mengobrol dengan volume wajar akan mengurangi bising yang sudah maksimal.

Bahwa kita sama ingin duduk dan saat saya dapat duduk dan anda tidak itu adalah ketidakberuntungan anda yang tidak perlu anda bagi dengan saya.

Demikian curahan hati seseorang yang tinggal di kampung dan harus urbanisasi tiap hari demi sebongkah berlian.

Tanah Abang - Serpong, 5 Juli 2013.

Sabtu, 08 Juni 2013

siangnaas



Siang terlalu naas untuk kembali disalahkan.
Kota ini sudah terlalu bising dengan keluhan.
Udara di sini sudah terlalu sesak untuk diperebutkan.
Apakah kita masih harus terus mereguk sakit di tiap titik?
Kota ini tidak pernah titik.
Kota ini tidak bosan terjaga.
Kota ini penuh dengan daya hidup yang mematikan.
Sayangnya semua orang minta diacuhkan di kota ini.
Setiap orang meminta disapa di kota ini.
Sementara aku ingin berlari dari kota ini dan aku justru terikat.
Ia mencengkramku dengan terlalu keras.
Memanggangku di dalam kotak panas dan tepat di jantung kota.
Dengan mata tua seorang ibu,
dengan rambut putih seorang ayah,
atau justru dengan tiap senyum yang ditawarkan.
Ya!
Aku hanya masih ingin jadi burung yang bebas mengepakkan sayap.
Aku hanya masih ingin mengepak segala dalam sebuah ransel.
Aku masih ingin menjejakan kaki di kota asing.
Aku hanya masih ingin dan entah mengapa segalanya hanya ingin.
Hingga saat terjaga aku masih di kota ini.
Siang terlalu naas untuk kembali disalahkan.
Saat pohon yang tumbang tercerabut dari akarnya.
Aku sudah lama tidak berakar.
Mengada justru karena ketiadaan.
Apakah kita masih harus terus mereguk sakit di tiap titik?
Ketika kota ini adalah tanah mereka yang tercerabut dari akarnya.
Kota ini membuat segala wajah jadi serupa.
Kota ini bikin semua mimpi jadi sama.
Kota ini merajut asa tapi melupakan makna.

Selasa, 04 Juni 2013

tidak henti tersenyum

kebahagian itu bisa datang dari pintu mana pun. 
kita mungkin lupa 
atau hanya belum membuka pintu yang penuh dengan kebahagiaan itu 
atau mungkin waktu mengajak untuk sedikit berputar sebelum bertemu. 
penuh dengan mungkin tapi tidak berhenti tersenyum.

Rabu, 29 Mei 2013

Sukses!



Ini adalah tulisan lama kedua yang masih relevan dengan saya yang sekarang. Tahun itu, 2010, saya menamakan semua file tulisan dengan sampah lalu tanggal berapa saya tulis. Tulisan ini berjudul “Sampah040110” sekitar tiga tahun yang lalu. Tentang kesuksesan dan mungkin ukuran kesuksesan saya hari ini sudah berubah sejak tiga tahun silam. 

Hari ini pasti taraf kesuksesan saya berubah. Akan tetapi, itu menandakan saya masih hidup dan alhamdulillah saya masih hidup.

--
Dan kita tahu persis kapan harus terus jalan atau harus berhenti tanpa maju meski selangkah pun lagi.

Itulah saya rasa yang dilakukan oleh seorang teman yang akhir-akhir ini menjadi buah pikir yang menggelayuti saya akhir-akhir ini. Temannya teman saya yang sudah menentukan untuk berhenti berjalan bahkan untuk selangkah, akan kita beri nama A. 

A adalah makhluk Tuhan dan percaya adanya Tuhan. Tetapi, bukan berarti dengan begitu si A akan berhenti berbuat gila. Ya, bagi saya ini adalah sebuah kegilaan. Ketika ia memberi tenggat pada dirinya sendiri, bahwa pada tanggal sekian, bulan serta tahun sekian ia akan mengakhiri dirinya jika “tidak sukses” dengan sebuah kekekalan kematian. Pada usia keramatnya 27 dan juga dengan cara yang dipilihnya.  

“Sukses” inilah yang menjadi penentu apakah ia akan terus jalan atau berhenti sama sekali. Saya pun jadi berpikir, apakah sebenarnya kesuksesan itu? Apalagi di umur saya sekarang saya tahu persis ini menjadi momok yang amat menakutkan. 

Lalu, saya pun mengaitkan sukses ini dengan pencapaian cita-cita saya jika saya tidak salah pikir, dan setelah lama saya berpikir ternyata saya tidak punya cita-cita yang tinggi-tinggi amat. Saya hanya mau membahagiakan orang tua saya untuk saat ini. Apakah saya tahu caranya? Ya, saya tahu caranya dan ternyata hal ini tidak mudah, meski saya tahu dan saya hanya perlu jalan sesuai hal itu dan itu bukan hal yang gampang. Bahkan akhir-akhir ini saya rasa saya hanya mampu berjuang semampu saya, mencobanya, berdoa dan berharap ini akan berbuah manis. 

Mungkinkah hal ini yang menyebabkan teman saya membuat tenggat bagi dirinya sendiri, karena ia tahu persis apa yang sedang ia lalui dan berani mengambil risiko tapi ternyata ini tidak mudah pula baginya. Bukan berarti saya pun akan mengakhiri hidup, bukan. Saya tidak ingin itu. Saya hanya berada pada titik keinginan untuk coba memahami teman saya ini dan belajar atas pilihan-pilihan aneh yang dibuatnya. 

Bagi saya dia cukup sukses. Dia baik dan saya adalah orang yang percaya bahwa kebaikan akan berbuah pada kebaikan yang akan diberikan melalui tangan-tangan yang kita tak pernah ketahui kapan dan di mana akan kembali pada kita. Saya ingin bilang, “bisakah kamu bersabar sejenak, bersabar karena mungkin sang sukses hanya sedang belok ke arah lain sebelum menghampiri kamu.” 

Namun, orang yang merasa dewasa tidak pernah ingin menyesali atas apa yang telah dipilihnya. Kita diberi pilihan dan kita yang menentukan jawabannya. Maju terus atau berhenti tanpa pernah maju lagi. 

Ini hanya sebuah keinginan untuk berbagi dan bertukar, apa sukses untuk kalian? Dan semoga kita adalah orang yang sabar dan mau bekerja keras untuk mencapainya. Begitu juga A yang sedang bekerja keras untuk mencapai suksesnya sebelum tanggal yang ia tentukan sendiri.  

Dan bermimpilah setinggi-tingginya karena Tuhan akan mendekapnya.

Selasa, 28 Mei 2013

Hari yang Biasa

Jadi semalam hasrat menulis sangatlah besar. Saya turuti. Ternyata eksekusi takpernah benar jadi mudah. Lalu, membaca tulisan lama dan tersadarlah saya bahwa menulis mungkin memang harus kembali saya lakukan saat saya membaca tulisan saya tentang rutinitas kala itu. Saat ini, saat saya kembali terjerembab ke dalam rutinitas, membacanya dan merasa bahwa hal tersebut masih sangat relevan dengan saya yang sekarang. Kira-kira beginilah isinya: 

---

Hari itu tidak ada air mengalir dari matanya yang bulat, besar, dan coklat. Pada hari itu, yang keluar dari matanya adalah darah yang entah bagaimana caranya mengalir deras dari matanya. Tidak ada tetes mata atau obat yang mampu mengobatinya. Tidak ada, yang dibutuhkannya selain sebuah senyum. Seulas senyum yang membuatnya kembali hidup. Hanya itu. 

***

Malam itu langit masih sama dengan malam lainnya. Membuka pintu dengan lebar, meski ketika memejam mata ternyata dengung nyamuklah yang akan menemani. Malam itu, masih ia biarkan segalanya sama dengan malam lainnya. Tanpa sebuah gundah. Tanpa rasa tidak enak hati. Atau rasa mual karena maag dan telat makan. Tidak ada yang spesial malam itu. Sama dengan malam lainnya, dengan rutinitas yang itu-itu saja.

Paginya tidak ia ingat adakah sebuah mimpi yang mengganggu atau apapun yang membuatnya mual karena perih yang tiba-tiba datang. Ternyata itu pun tidak ada. Tidak ada firasat apapun. Maka, hari ini masih akan menjadi hari yang sama saja. Hari yang itu juga.

Menggelinjang di kasur. Menyisir rambut dan memunguti yang rontok, serta menyapu debu. Merebus mie goreng, menumpahkan terlalu banyak sambal botol. Ah, semua memang rutinitas, seperti biasa saja. Menunggu angkutan umum. Kepanasan dalam angkot. Menyebrang jalan dengan susah payah. Tukang koran yang sama setiap harinya. Hari ini memang hari yang biasa.

Mengapa begitu menginginkan sesuatu yang istimewa? Mengapa ya, mengapa jadi orang yang tidak tahu diuntung? Mengapa manusia begitu tidak puas padahal Sang Pencipta memberi kesempurnaan hanya pada manusia. Apalagi ini, tiba-tiba jadi sufi yang memikirkan yang macam-macam. Hari ini pun tetap jadi hari yang biasa.

Catatan lama
Jatinangor, 11 Mei 2010
Tanpa satu pun yang diubah

Senin, 27 Mei 2013

Waisak 2013

Saya bukan hipster, ahahaha saya harus memulainya dengan kalimat itu karena entah mengapa prosesi Waisak 2557/2013 yang berlangsung 24-25 Mei dianggap ajang kehadiran para hipster.

Sejak awal saya memang datang untuk ikut sembahyang. Pertama kali tahu tentang Waisak di Borobudur saat menonton film "Arisan 2" lalu jatuh cinta.

Akan tetapi, perjalanan kali ini lebih saya sebut perjalanan perdebatan antara 'Cinta' dan 'Iman'. Percayalah karena kalau kalian bukan mencari selain 1000 lampion kalian akan tahu betapa acara ini merembes hingga ke hati.

Mereka yang berdoa memang tergilas dengan deru-deram kendaraan bermotor yang lalu lalang. Juga percakapan ribuan orang, serta suara shutter dari para fotografer. Saya memang pada akhirnya hanya mendengar geremeng tapi dengarkanlah dengan hati dan akan sampai ke hati pula.

Lihat pula bukan dengan lensa yang panjang-panjang, atau dengan blitz yang hanya akan membuat suasana yang panas kian ganas. Tidakkah kalian yang ke sana melihat mereka menutup mata untuk sampai pada puncak pemahaman. Mereka pula kepanasan tapi bukankan mereka tidak berkipas apalagi menggunakan pakaian yang seksi.

Coba cium baunya. Aroma dupa yang semerbak juga sedap malam yang mistis. Mereka yang datang hanya untuk mengedarkannya di media sosial pasti tidak mampu merasainya meski barang setitik.

Saya sadar benar bahwa ketika saya datang kemungkinan besar saya pun adalah pengganggu. Namun, bukankah hal tersebut bisa diminimalkan? Turut hening saat berdoa. Jalan setelah mereka lebih dulu jalan. Memberi ruang sebanyak mungkin bagi mereka yang beribadah.

Mereka juga bukan objek.

Saya dan seorang kawan termasuk beruntung. Kami bertemu dengan umat yang menjelaskan dengan sangat jelas tentang apa yang ia anut dan hanya memotretnya diberikan izin. Kami bahkan masih bercakap tentang toleransi, saat saya yang muslim dengan atribut saya bisa ia terima dan bercakap tentang apa yang kami percayai.

Itukan iman yang ada di hati tentang menerima dan memberi kepada sesama, juga tidak saling menyakiti.

Ini pasti bukan soal keren.

Mana mungkin para umat yang hanya ingin terlihat keren mampu berjalan berkilo meter saat cuaca begitu naas. Itu pasti soal iman. Saat nenek renta masih jalan dan terus bergumam dengan khidmat tanpa keluh.

Nah, masalahnya mereka yang hadir lupa bahwa iman di Indonesia harus berjalan beriringan dengan banyak hal. Iman yang konon dilindungi di negara ini juga sering kali dimanfaatkan banyak pihak.

Di mana penguasa?

Kepercayaan juga dikomersilkan. Saya sangat yakin pemerintah tahu pasti saat acara tahunan ini berlangsung jumlah wisatawan mancanegara akan melonjak dan keuntungan akan masuk ke berbagai pihak. Devisa pasti naik, siapa yang akan diuntungkan? Lihatlah bagaimana PT KAI memberi harga gila-gilaan untuk semua perjalan menuju Jogja, juga arah sebaliknya.

Juga saat rumah-rumah tiba-tiba jadi homestay dan masyarakat pula untung. Maka kesadaran bukan hanya harus ditanamkan kepada para pengunjung tapi juga para penduduk sekitar. Pada mereka yang mau turut andil dalam acara tersebut.

Kegagalan tahun ini salah bersama.

Siapa suruh kemakmuran itu tidak merata? Maka jangan salahkan mereka yang dipinggiran memanfaatkannya. Siapa suruh tidak ada sosialisasi yang benar sementara masyarakat kita saat ini adalah masyarakat instan yang selalu butuh disuapi. Siapa suruh mereka yang bilang berbudaya, mampu berbahasa asing justru tidak peka pada lingkungan. Bahwa sekolah hanya mengajarkan pelajaran bukan pemahaman.

Mengutip seorang teman, "antre aja yang ga perlu mikir mereka ga bisa."

Miris bukan, saat hari besar agama malah terjadi kerusuhan dan dengan media yang kian gencar kini mereka yang tidak mengalaminya bisa menghakimi tiap orang yang datang pun turut merusak.

Tidak ada perayaan agama lain yang sama bisa dinikmati oleh setiap orang seperti waisak. Mungkin kita hanya butuh kontrol dan kesadaran yang konon tentang toleransi itu bukan hanya isapan jempol.

Mungkin kita masih harus belajar untuk memahami segalanya termasuk toleransi yang sebenarnya.

Senin, 13 Mei 2013

Siapa sangka?

Kesedihan menderamu hingga kamu tidak ingin bangun pagi itu. Kamu ingat bahwa kamu adalah perempuan jahat. Tapi kamu lebih suka bilang meminjam.

Katamu, kamu tidak memintanya selamanya tinggal. Katamu, kamu tidak meminta dibuahi. Kamu meringis, mana ada perempuan tanpa rahim bisa dibuahi.

Kamu mengembalikannya dengan sempurna. Hanya berkurang jumlah sperma.

Pagi ini kamu hanya minta direngkuh, tidak ada percumbuan. Siapa yang minta dicumbui? Kamu tahu kamu hanya ingin direngkuh hingga pagi.

Segelas air putih, hanya itu yang kamu siapkan tiap kali kedatangannya. Ia bukan milikmu maka ia tidak ada dengan kehendakmu. Ia bukan milikmu maka tidak kamu punya hak untuk merajuk padanya.

Pagi itu kita bercakap. "Malam ini aku hanya ingin melihat bulan." Lelakimu tertawa berderai, katanya wajahmu bulat sempurna, seperti bulan purnama. Aku hanya meringis. Aku mulai menggodanya. Aku tahu wajah bininya sama bulatnya dengan wajahku. Tawanya henti seketika.

Ia tidak mengucapkan kata cinta. Kamu tidak meminta kata cinta. Ia tidak bisa selamanya di sisimu. Kamu tidak memintanya tetap tinggal.

Subuh tadi istrinya menelepon. Ia bermimpi suaminya yang tengah kamu pinjam tidur bersama ular. Ia menenangkannya tapi juga mendekapmu kian erat. Ah ya! Kamulah si ular.

"Aku hanya ingin melihat bulan." Kukirimkan pesan itu padanya,
Sehari
Dua hari
Tiga hari.
Takada jawab.

Kamu mungkin bukan perempuan ular. Kamu tidak mematuk setiap pria.

Kamu bersamanya karena kamu mengenalnya lebih dulu. Bukankah bahkan ia pernah bercerita, "aku menikahinya sebab ia mirip kamu."

Kamu tetap perempuan jahat. Hatimu berkecamuk. Matamu lalu basah. Perutmu perih. Cokelat yang kamu bawa sama sekali taktersentuh.

Malam tadi kamu siapkan air putih, saat azan bersaut ia mengetuk. Takada percumbuan. Kali ini ia yang minta didekap. Takada kata, kamu hanya mendekapnya. Ia terlelap, siapa menyangka kamu akan jadi ular?

"Aku hanya ingin melihat bulan."
Kamu pergi meninggalkan ia sticky notes.

Kamu mencari espresso, siapa sangka perutmu lebih perih dari hatimu. Siapa sangka bulan taktampak malam ini.

Jumat, 03 Mei 2013

I.K.L.I.M


Di pagi yang resah,
aku berhenti padahal baru koma.

Kita mulai bosan pada waktu.
Katamu takada yang takmampu.

Tapi!

Aku mulai meramu waktu.
mengatur jarak

Namun, siapakah yang mampu -atur- hasrat?

Di sore yang cerah
Aku terjerumus dalam keramaian
Ikut berburu bersama para pelakon.

Tapi!

Aku hanya ingin melihat bulan.
bersandar di tanah lapang

Namun, siapa yang mampu -atur- ingatan?

Malam yang tandus.
 -Aku hanya takingin goyah-