Rabu, 29 Mei 2013

Sukses!



Ini adalah tulisan lama kedua yang masih relevan dengan saya yang sekarang. Tahun itu, 2010, saya menamakan semua file tulisan dengan sampah lalu tanggal berapa saya tulis. Tulisan ini berjudul “Sampah040110” sekitar tiga tahun yang lalu. Tentang kesuksesan dan mungkin ukuran kesuksesan saya hari ini sudah berubah sejak tiga tahun silam. 

Hari ini pasti taraf kesuksesan saya berubah. Akan tetapi, itu menandakan saya masih hidup dan alhamdulillah saya masih hidup.

--
Dan kita tahu persis kapan harus terus jalan atau harus berhenti tanpa maju meski selangkah pun lagi.

Itulah saya rasa yang dilakukan oleh seorang teman yang akhir-akhir ini menjadi buah pikir yang menggelayuti saya akhir-akhir ini. Temannya teman saya yang sudah menentukan untuk berhenti berjalan bahkan untuk selangkah, akan kita beri nama A. 

A adalah makhluk Tuhan dan percaya adanya Tuhan. Tetapi, bukan berarti dengan begitu si A akan berhenti berbuat gila. Ya, bagi saya ini adalah sebuah kegilaan. Ketika ia memberi tenggat pada dirinya sendiri, bahwa pada tanggal sekian, bulan serta tahun sekian ia akan mengakhiri dirinya jika “tidak sukses” dengan sebuah kekekalan kematian. Pada usia keramatnya 27 dan juga dengan cara yang dipilihnya.  

“Sukses” inilah yang menjadi penentu apakah ia akan terus jalan atau berhenti sama sekali. Saya pun jadi berpikir, apakah sebenarnya kesuksesan itu? Apalagi di umur saya sekarang saya tahu persis ini menjadi momok yang amat menakutkan. 

Lalu, saya pun mengaitkan sukses ini dengan pencapaian cita-cita saya jika saya tidak salah pikir, dan setelah lama saya berpikir ternyata saya tidak punya cita-cita yang tinggi-tinggi amat. Saya hanya mau membahagiakan orang tua saya untuk saat ini. Apakah saya tahu caranya? Ya, saya tahu caranya dan ternyata hal ini tidak mudah, meski saya tahu dan saya hanya perlu jalan sesuai hal itu dan itu bukan hal yang gampang. Bahkan akhir-akhir ini saya rasa saya hanya mampu berjuang semampu saya, mencobanya, berdoa dan berharap ini akan berbuah manis. 

Mungkinkah hal ini yang menyebabkan teman saya membuat tenggat bagi dirinya sendiri, karena ia tahu persis apa yang sedang ia lalui dan berani mengambil risiko tapi ternyata ini tidak mudah pula baginya. Bukan berarti saya pun akan mengakhiri hidup, bukan. Saya tidak ingin itu. Saya hanya berada pada titik keinginan untuk coba memahami teman saya ini dan belajar atas pilihan-pilihan aneh yang dibuatnya. 

Bagi saya dia cukup sukses. Dia baik dan saya adalah orang yang percaya bahwa kebaikan akan berbuah pada kebaikan yang akan diberikan melalui tangan-tangan yang kita tak pernah ketahui kapan dan di mana akan kembali pada kita. Saya ingin bilang, “bisakah kamu bersabar sejenak, bersabar karena mungkin sang sukses hanya sedang belok ke arah lain sebelum menghampiri kamu.” 

Namun, orang yang merasa dewasa tidak pernah ingin menyesali atas apa yang telah dipilihnya. Kita diberi pilihan dan kita yang menentukan jawabannya. Maju terus atau berhenti tanpa pernah maju lagi. 

Ini hanya sebuah keinginan untuk berbagi dan bertukar, apa sukses untuk kalian? Dan semoga kita adalah orang yang sabar dan mau bekerja keras untuk mencapainya. Begitu juga A yang sedang bekerja keras untuk mencapai suksesnya sebelum tanggal yang ia tentukan sendiri.  

Dan bermimpilah setinggi-tingginya karena Tuhan akan mendekapnya.

Selasa, 28 Mei 2013

Hari yang Biasa

Jadi semalam hasrat menulis sangatlah besar. Saya turuti. Ternyata eksekusi takpernah benar jadi mudah. Lalu, membaca tulisan lama dan tersadarlah saya bahwa menulis mungkin memang harus kembali saya lakukan saat saya membaca tulisan saya tentang rutinitas kala itu. Saat ini, saat saya kembali terjerembab ke dalam rutinitas, membacanya dan merasa bahwa hal tersebut masih sangat relevan dengan saya yang sekarang. Kira-kira beginilah isinya: 

---

Hari itu tidak ada air mengalir dari matanya yang bulat, besar, dan coklat. Pada hari itu, yang keluar dari matanya adalah darah yang entah bagaimana caranya mengalir deras dari matanya. Tidak ada tetes mata atau obat yang mampu mengobatinya. Tidak ada, yang dibutuhkannya selain sebuah senyum. Seulas senyum yang membuatnya kembali hidup. Hanya itu. 

***

Malam itu langit masih sama dengan malam lainnya. Membuka pintu dengan lebar, meski ketika memejam mata ternyata dengung nyamuklah yang akan menemani. Malam itu, masih ia biarkan segalanya sama dengan malam lainnya. Tanpa sebuah gundah. Tanpa rasa tidak enak hati. Atau rasa mual karena maag dan telat makan. Tidak ada yang spesial malam itu. Sama dengan malam lainnya, dengan rutinitas yang itu-itu saja.

Paginya tidak ia ingat adakah sebuah mimpi yang mengganggu atau apapun yang membuatnya mual karena perih yang tiba-tiba datang. Ternyata itu pun tidak ada. Tidak ada firasat apapun. Maka, hari ini masih akan menjadi hari yang sama saja. Hari yang itu juga.

Menggelinjang di kasur. Menyisir rambut dan memunguti yang rontok, serta menyapu debu. Merebus mie goreng, menumpahkan terlalu banyak sambal botol. Ah, semua memang rutinitas, seperti biasa saja. Menunggu angkutan umum. Kepanasan dalam angkot. Menyebrang jalan dengan susah payah. Tukang koran yang sama setiap harinya. Hari ini memang hari yang biasa.

Mengapa begitu menginginkan sesuatu yang istimewa? Mengapa ya, mengapa jadi orang yang tidak tahu diuntung? Mengapa manusia begitu tidak puas padahal Sang Pencipta memberi kesempurnaan hanya pada manusia. Apalagi ini, tiba-tiba jadi sufi yang memikirkan yang macam-macam. Hari ini pun tetap jadi hari yang biasa.

Catatan lama
Jatinangor, 11 Mei 2010
Tanpa satu pun yang diubah

Senin, 27 Mei 2013

Waisak 2013

Saya bukan hipster, ahahaha saya harus memulainya dengan kalimat itu karena entah mengapa prosesi Waisak 2557/2013 yang berlangsung 24-25 Mei dianggap ajang kehadiran para hipster.

Sejak awal saya memang datang untuk ikut sembahyang. Pertama kali tahu tentang Waisak di Borobudur saat menonton film "Arisan 2" lalu jatuh cinta.

Akan tetapi, perjalanan kali ini lebih saya sebut perjalanan perdebatan antara 'Cinta' dan 'Iman'. Percayalah karena kalau kalian bukan mencari selain 1000 lampion kalian akan tahu betapa acara ini merembes hingga ke hati.

Mereka yang berdoa memang tergilas dengan deru-deram kendaraan bermotor yang lalu lalang. Juga percakapan ribuan orang, serta suara shutter dari para fotografer. Saya memang pada akhirnya hanya mendengar geremeng tapi dengarkanlah dengan hati dan akan sampai ke hati pula.

Lihat pula bukan dengan lensa yang panjang-panjang, atau dengan blitz yang hanya akan membuat suasana yang panas kian ganas. Tidakkah kalian yang ke sana melihat mereka menutup mata untuk sampai pada puncak pemahaman. Mereka pula kepanasan tapi bukankan mereka tidak berkipas apalagi menggunakan pakaian yang seksi.

Coba cium baunya. Aroma dupa yang semerbak juga sedap malam yang mistis. Mereka yang datang hanya untuk mengedarkannya di media sosial pasti tidak mampu merasainya meski barang setitik.

Saya sadar benar bahwa ketika saya datang kemungkinan besar saya pun adalah pengganggu. Namun, bukankah hal tersebut bisa diminimalkan? Turut hening saat berdoa. Jalan setelah mereka lebih dulu jalan. Memberi ruang sebanyak mungkin bagi mereka yang beribadah.

Mereka juga bukan objek.

Saya dan seorang kawan termasuk beruntung. Kami bertemu dengan umat yang menjelaskan dengan sangat jelas tentang apa yang ia anut dan hanya memotretnya diberikan izin. Kami bahkan masih bercakap tentang toleransi, saat saya yang muslim dengan atribut saya bisa ia terima dan bercakap tentang apa yang kami percayai.

Itukan iman yang ada di hati tentang menerima dan memberi kepada sesama, juga tidak saling menyakiti.

Ini pasti bukan soal keren.

Mana mungkin para umat yang hanya ingin terlihat keren mampu berjalan berkilo meter saat cuaca begitu naas. Itu pasti soal iman. Saat nenek renta masih jalan dan terus bergumam dengan khidmat tanpa keluh.

Nah, masalahnya mereka yang hadir lupa bahwa iman di Indonesia harus berjalan beriringan dengan banyak hal. Iman yang konon dilindungi di negara ini juga sering kali dimanfaatkan banyak pihak.

Di mana penguasa?

Kepercayaan juga dikomersilkan. Saya sangat yakin pemerintah tahu pasti saat acara tahunan ini berlangsung jumlah wisatawan mancanegara akan melonjak dan keuntungan akan masuk ke berbagai pihak. Devisa pasti naik, siapa yang akan diuntungkan? Lihatlah bagaimana PT KAI memberi harga gila-gilaan untuk semua perjalan menuju Jogja, juga arah sebaliknya.

Juga saat rumah-rumah tiba-tiba jadi homestay dan masyarakat pula untung. Maka kesadaran bukan hanya harus ditanamkan kepada para pengunjung tapi juga para penduduk sekitar. Pada mereka yang mau turut andil dalam acara tersebut.

Kegagalan tahun ini salah bersama.

Siapa suruh kemakmuran itu tidak merata? Maka jangan salahkan mereka yang dipinggiran memanfaatkannya. Siapa suruh tidak ada sosialisasi yang benar sementara masyarakat kita saat ini adalah masyarakat instan yang selalu butuh disuapi. Siapa suruh mereka yang bilang berbudaya, mampu berbahasa asing justru tidak peka pada lingkungan. Bahwa sekolah hanya mengajarkan pelajaran bukan pemahaman.

Mengutip seorang teman, "antre aja yang ga perlu mikir mereka ga bisa."

Miris bukan, saat hari besar agama malah terjadi kerusuhan dan dengan media yang kian gencar kini mereka yang tidak mengalaminya bisa menghakimi tiap orang yang datang pun turut merusak.

Tidak ada perayaan agama lain yang sama bisa dinikmati oleh setiap orang seperti waisak. Mungkin kita hanya butuh kontrol dan kesadaran yang konon tentang toleransi itu bukan hanya isapan jempol.

Mungkin kita masih harus belajar untuk memahami segalanya termasuk toleransi yang sebenarnya.

Senin, 13 Mei 2013

Siapa sangka?

Kesedihan menderamu hingga kamu tidak ingin bangun pagi itu. Kamu ingat bahwa kamu adalah perempuan jahat. Tapi kamu lebih suka bilang meminjam.

Katamu, kamu tidak memintanya selamanya tinggal. Katamu, kamu tidak meminta dibuahi. Kamu meringis, mana ada perempuan tanpa rahim bisa dibuahi.

Kamu mengembalikannya dengan sempurna. Hanya berkurang jumlah sperma.

Pagi ini kamu hanya minta direngkuh, tidak ada percumbuan. Siapa yang minta dicumbui? Kamu tahu kamu hanya ingin direngkuh hingga pagi.

Segelas air putih, hanya itu yang kamu siapkan tiap kali kedatangannya. Ia bukan milikmu maka ia tidak ada dengan kehendakmu. Ia bukan milikmu maka tidak kamu punya hak untuk merajuk padanya.

Pagi itu kita bercakap. "Malam ini aku hanya ingin melihat bulan." Lelakimu tertawa berderai, katanya wajahmu bulat sempurna, seperti bulan purnama. Aku hanya meringis. Aku mulai menggodanya. Aku tahu wajah bininya sama bulatnya dengan wajahku. Tawanya henti seketika.

Ia tidak mengucapkan kata cinta. Kamu tidak meminta kata cinta. Ia tidak bisa selamanya di sisimu. Kamu tidak memintanya tetap tinggal.

Subuh tadi istrinya menelepon. Ia bermimpi suaminya yang tengah kamu pinjam tidur bersama ular. Ia menenangkannya tapi juga mendekapmu kian erat. Ah ya! Kamulah si ular.

"Aku hanya ingin melihat bulan." Kukirimkan pesan itu padanya,
Sehari
Dua hari
Tiga hari.
Takada jawab.

Kamu mungkin bukan perempuan ular. Kamu tidak mematuk setiap pria.

Kamu bersamanya karena kamu mengenalnya lebih dulu. Bukankah bahkan ia pernah bercerita, "aku menikahinya sebab ia mirip kamu."

Kamu tetap perempuan jahat. Hatimu berkecamuk. Matamu lalu basah. Perutmu perih. Cokelat yang kamu bawa sama sekali taktersentuh.

Malam tadi kamu siapkan air putih, saat azan bersaut ia mengetuk. Takada percumbuan. Kali ini ia yang minta didekap. Takada kata, kamu hanya mendekapnya. Ia terlelap, siapa menyangka kamu akan jadi ular?

"Aku hanya ingin melihat bulan."
Kamu pergi meninggalkan ia sticky notes.

Kamu mencari espresso, siapa sangka perutmu lebih perih dari hatimu. Siapa sangka bulan taktampak malam ini.

Jumat, 03 Mei 2013

I.K.L.I.M


Di pagi yang resah,
aku berhenti padahal baru koma.

Kita mulai bosan pada waktu.
Katamu takada yang takmampu.

Tapi!

Aku mulai meramu waktu.
mengatur jarak

Namun, siapakah yang mampu -atur- hasrat?

Di sore yang cerah
Aku terjerumus dalam keramaian
Ikut berburu bersama para pelakon.

Tapi!

Aku hanya ingin melihat bulan.
bersandar di tanah lapang

Namun, siapa yang mampu -atur- ingatan?

Malam yang tandus.
 -Aku hanya takingin goyah-