Saya bukan hipster, ahahaha saya harus memulainya dengan kalimat itu karena entah mengapa prosesi Waisak 2557/2013 yang berlangsung 24-25 Mei dianggap ajang kehadiran para hipster.
Sejak awal saya memang datang untuk ikut sembahyang. Pertama kali tahu tentang Waisak di Borobudur saat menonton film "Arisan 2" lalu jatuh cinta.
Akan tetapi, perjalanan kali ini lebih saya sebut perjalanan perdebatan antara 'Cinta' dan 'Iman'. Percayalah karena kalau kalian bukan mencari selain 1000 lampion kalian akan tahu betapa acara ini merembes hingga ke hati.
Mereka yang berdoa memang tergilas dengan deru-deram kendaraan bermotor yang lalu lalang. Juga percakapan ribuan orang, serta suara shutter dari para fotografer. Saya memang pada akhirnya hanya mendengar geremeng tapi dengarkanlah dengan hati dan akan sampai ke hati pula.
Lihat pula bukan dengan lensa yang panjang-panjang, atau dengan blitz yang hanya akan membuat suasana yang panas kian ganas. Tidakkah kalian yang ke sana melihat mereka menutup mata untuk sampai pada puncak pemahaman. Mereka pula kepanasan tapi bukankan mereka tidak berkipas apalagi menggunakan pakaian yang seksi.
Coba cium baunya. Aroma dupa yang semerbak juga sedap malam yang mistis. Mereka yang datang hanya untuk mengedarkannya di media sosial pasti tidak mampu merasainya meski barang setitik.
Saya sadar benar bahwa ketika saya datang kemungkinan besar saya pun adalah pengganggu. Namun, bukankah hal tersebut bisa diminimalkan? Turut hening saat berdoa. Jalan setelah mereka lebih dulu jalan. Memberi ruang sebanyak mungkin bagi mereka yang beribadah.
Mereka juga bukan objek.
Saya dan seorang kawan termasuk beruntung. Kami bertemu dengan umat yang menjelaskan dengan sangat jelas tentang apa yang ia anut dan hanya memotretnya diberikan izin. Kami bahkan masih bercakap tentang toleransi, saat saya yang muslim dengan atribut saya bisa ia terima dan bercakap tentang apa yang kami percayai.
Itukan iman yang ada di hati tentang menerima dan memberi kepada sesama, juga tidak saling menyakiti.
Ini pasti bukan soal keren.
Mana mungkin para umat yang hanya ingin terlihat keren mampu berjalan berkilo meter saat cuaca begitu naas. Itu pasti soal iman. Saat nenek renta masih jalan dan terus bergumam dengan khidmat tanpa keluh.
Nah, masalahnya mereka yang hadir lupa bahwa iman di Indonesia harus berjalan beriringan dengan banyak hal. Iman yang konon dilindungi di negara ini juga sering kali dimanfaatkan banyak pihak.
Di mana penguasa?
Kepercayaan juga dikomersilkan. Saya sangat yakin pemerintah tahu pasti saat acara tahunan ini berlangsung jumlah wisatawan mancanegara akan melonjak dan keuntungan akan masuk ke berbagai pihak. Devisa pasti naik, siapa yang akan diuntungkan? Lihatlah bagaimana PT KAI memberi harga gila-gilaan untuk semua perjalan menuju Jogja, juga arah sebaliknya.
Juga saat rumah-rumah tiba-tiba jadi homestay dan masyarakat pula untung. Maka kesadaran bukan hanya harus ditanamkan kepada para pengunjung tapi juga para penduduk sekitar. Pada mereka yang mau turut andil dalam acara tersebut.
Kegagalan tahun ini salah bersama.
Siapa suruh kemakmuran itu tidak merata? Maka jangan salahkan mereka yang dipinggiran memanfaatkannya. Siapa suruh tidak ada sosialisasi yang benar sementara masyarakat kita saat ini adalah masyarakat instan yang selalu butuh disuapi. Siapa suruh mereka yang bilang berbudaya, mampu berbahasa asing justru tidak peka pada lingkungan. Bahwa sekolah hanya mengajarkan pelajaran bukan pemahaman.
Mengutip seorang teman, "antre aja yang ga perlu mikir mereka ga bisa."
Miris bukan, saat hari besar agama malah terjadi kerusuhan dan dengan media yang kian gencar kini mereka yang tidak mengalaminya bisa menghakimi tiap orang yang datang pun turut merusak.
Tidak ada perayaan agama lain yang sama bisa dinikmati oleh setiap orang seperti waisak. Mungkin kita hanya butuh kontrol dan kesadaran yang konon tentang toleransi itu bukan hanya isapan jempol.
Mungkin kita masih harus belajar untuk memahami segalanya termasuk toleransi yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar