Senin, 26 November 2012

Tentang Menulis dan Sudut Pandang Keperempuanan



Saat kalian baca judulnya janganlah kalian berharap bahwa ini akan jadi tulisan objektif yang penuh dengan fakta dan sumber-sumber yang pasti. Ini adalah tentang saya dan gaya menulis saya yang hingga kini masih belum berubah. 

Si kesadaran datang saat saya harus menerjemah beberapa hari lalu. Artikel yang harus saya terjemah adalah sebuah kumpulan “kutipan” dari para suami-suami yang masih menyayangi istri mereka  hingga tahun kesepuluh pernikahan. Nah! Masalahnya si artikel yang saya terjemahkan itu jadi penuh diksi dan gaya keperempuanan yang mengagumi para lelaki tersebut yang nampaknya di zaman sekarang sangat sulit di dapat. 

Saya yakin banyak orang di zaman sekarang mempertanyakan lembaga pernikahan dengan begitu maraknya perceraian dan artikel yang saya terjemah itu seolah jadi keniscayaan.

Ya keniscayaan bagi saya dan saya malah merasa bersalah karenanya. Tulisan manis dari para lelaki itu jadi subjektif dengan nada “oh so sweet” di tangan saya. 

Kecenderungan saya dengan keperempuaan sudah datang dari jauh-jauh hari. Dari hari saya meyakini bahwa saya akan skripsi Oka Rusmini di semester ketiga. Dari jungkir balik baca karya penulis perempuan. Dari yang bosan dengan kemampanan atau yang justru terperangkap dalam kemapanan yang dilegitimasi lelaki, masyarakat, dan negara ini. 

Dan hingga hari ini, ketika saya menulis tulisan ini dengan frekuensi saya yang jarang sekali membaca saya masih terperangkap di dalamnya. Saya masih memandang dengan cara itu. Menulis dengan cara itu dan smoga itu adalah kekhasan saya. 

Masalahnya, entah mengapa saya jadi begitu subjektif. Saya hanya melihat dari sudut pandang dan sejujurnya saya enggan terperangkap dan akhirnya berujung pada “ini subjektif saya.” Ya iyalah lah wong itu saya yang ngomong. 

Saya masih ingat zaman diskusi di kelas Sastra yang memang tidak ada salah atau benar yang ada hanya argumentasi siapa yang paling banyak merujuklah yang paling berterima. Masalahnya, saya sudah taklagi di ruang kelas. Hidup saya bukan lagi dari satu cerpen ke cerpen yang lain, bukan lagi satu novel ke novel yang lain, bukan satu puisi ke puisi yang lain.

Dan di dunia yang keras ini salah-benar jadi keharusan. Kala apa yang ditulis begitu mudah diinterpretasikan di Twitter. Kala rindu jadi milik bersama, kala tempat tidur bukan lagi privasi.
Sudut pandang yang saya ambil jadi masalah bagi beberapa orang. Cara melihat saya jadi sebuah pertanyaan. Dan yang paling buruk adalah saya taklagi mampu menjawab sekeras dulu, kala teori berputar-putar di kepala. 

Maka di sinilah saya berada.

Saya akan berkata dengan jujur bahwa saya tidak mampu tidak menulis seperti itu hingga saya menulis ini.

Bahwa saya masih berada di zona nyaman saya dengan sudut pandang itu. Saya tidak akan meminta maaf karena itu. 

Namun, percayalah bahwa apa yang selalu saya tulis adalah sesuatu yang hadir dari dalam hati saya dan saya masih percaya kutipan dari seorang teman “sesuatu yang datang dari hati pasti akan sampai ke hati pula.”

Hai Simone saya juga masih cinta kamu dan lelaki yang suka dengan lelaki yang di sebelahmu.

Semoga Kembali Bertemu Joko Sedayu



Seharusnya sudah lama namamu ada di ruang ini, kamu pernah menagihnya. 

Namun, Congki dan Mas Okto ternyata lebih dulu masuk dan aku membiarkanmu mengendap hingga titik terjauh.

Sampai kembali bertemu Sed!

Aku masih selalu ingat bagaimana keringat mengucur di antara kupingmu di hari pertama kita tanda tangan.

Atau

Saat kita mendaki menuju lantai 20 yang sedingin kulkas.

Aku akan selalu ingat saat kamu selalu mengalah dalam setiap jadwal piket karena si guweh yang selalu ingin main.

Hah!

Jumat kita yang santai sudah habis masa berlakunya.

Sampai jumpa Jok!

Masa depan yang gemilang ada di depan sana.

Mari kita melaju.

Menemu.

Karena mungkin besok di titik yang lain ada irisan lagi di antara kita.

Selalu baik Day!

Karena kamu orang baik dan saya akan tetap mengingatmu seperti itu.

Jangan sering ke 16 yah?

Kita bertemu di ruang yang lain, bukankah kamu sudah memilih untuk terlepas dan kita akan bebas menemu pada ruang yang lain.

Atau saya cuma takut bahwa setelah kamu pergi ruang saya jadi sempit karena takada yang mau mengalah.
zaman-zaman Jumat di BUMN


MULA dan Anyer 


Piket dan Bersenang-senang 
Taraaa.. Jadi badut di resepsi adik Mas Adi

Hari pertama tanpamu dan hari pertama kamu ada di halaman ini.