Rabu, 30 November 2011

30 November 2011


Ini hari terakhir di bulan November. Pagi ini akan jadi pagi yang biasa jika takada gemericik hujan pagi tadi.
November ini ditutup dengan rinai hujan kala pagi. Saya selalu suka hujan hingga hari ini saya harus berpikir keras bagaimana caranya memulai hari ini dengan hujan yang menyejukkan.
Dulu, saya akan memilih untuk menarik kembali selimut. Bangun siang lalu melanjutkannya dengan secangkir kopi dan bacaan yang romantis pilihan saya sendiri.
Hari ini, saya menikmati langit yang mendung dengan rasa yang begitu dekat. Gedung pencakar langit itu hampir sampai ke langit dan saya berada di antaranya.
Hujan ini masih berasa romantis meski tanpa segelas kopi dan bacaan yang juga romantis.
Hujan ini masih romantis dengan berita dan derai tawa di dalam ruangan ini. Dengan donat yang super manis.
Dan ternyata syukur itu masih bisa diungkapkan meski hujan membuat tanah basah menumpang di alas kaki.



Kamis, 24 November 2011

23 November 2011

Ini kisah kebahagian dalam ketidaksempurnaan.

Mungkin kalian pernah melihatnya di stasiun Tanah Abang. Mereka keluarga yang kurang beruntung, tidak benar-benar mampu melihat indahnya dunia.

Kemarin hari yang biasa, seperti biasa saya pulang dan pergi menumpang kereta. Jadi tidak biasa ketika seorang lelaki dengan kekurangnnya yang biasa saya lihat menjual kemplang ternyata membawa keluarganya untuk mengamen pada hari itu.

Mereka keluarga yang lengkap, atau setidaknya sesuai dengan program KB. Suami-istri dengan sepasang anak.Saya masih melihat bagaimana anak perempuan kecil itu membawa ibunya duduk sambil menunggu kereta datang.

saya juga masih melihat bagaimana ia mengarahkan tongkat ayahnya agar sang ayah bisa berjalan lurus. Saya bahkan masih bisa melihat ketika sang ayah mencium sayang anak lelaki dalam gendongannya.

Suami-istri ini sama-sama memiliki keterbatasan. Anak mereka yang pertama seorang perempuan mungkin lebih beruntung. Ia menggunakan kaca mata yang begitu tebal namun nampaknya cukup untuk melihat indahnya dunia.

Lalu seorang anak lelaki dalam gendongan. Mungkin dia bahkan belum sampai tiga tahun, ia harus turut dalam padatnya kereta ekonomi bersama ibunya yang menyanyi sepanjang perjalanan kereta api demi sesuap nasi. Bersama ayahnya yang membawa bekas bungkus permen untuk mengumpulkan recehan.

Mungkin suatu hari anak lelaki itu yang akan bercerita kepada ibu dan ayahnya bagaimana indahnya dunia ataukah justru berkisah tentang sulitnya dunia.Hari ini ia yang berada dalam gendongan ayahnya, mungkinkah suatu hari ia yang akan menggendong sayang ayahnya?

Senin, 21 November 2011

Adventures of Tintin


Tintin, konon ini animasi tapi tonton saja sendiri ini tampak nyata. Ada bagian ketika tangan Tintin memperlihatkan tangannya dan kita akan di kasih liat betapa detail itu rambut-rambut halus di tangan Tintin.

Tontonlah ini menyenangkan dan menghibur.

Senin, 14 November 2011

Tidak Pernah Sampai ke Bumi


Dan hanya batu yang konsisten dengan segalanya. Tetapi, batu pun akan bolong jika terus ditetesi air. Benarkah ada yang konsisten dalam hidup. Karena jika benar begitu harusnya Adam dan Hawa takakan pernah sampai di bumi. Mungkin kita yang konon adalah anak dan cucu Adam ini tetap berada di surgaloka. Karena jika Hawa konsisten untuk tidak pernah menginginkan buah quldi mungkin mereka dan kita semua akan tetap berada di nirwana.
           
Apakah rasa pun juga seperti Adam dan Hawa yang tidak konsisten? Karena ternyata dalam sepersekian detik rasa bisa saja berubah. Rasa seperti juga udara yang akan berubah kapan saja tanpa tedeng aling-aling. Namun, apakah ia rasa harus berubah dengan cara menyakiti karena ketidakkonsisitenannya? Bukankah rasa yang tadinya diagung-agungkan itu begitu menggebu-gebu dan dalam tempat yang begitu istimewa di dalam hati sang pemiliknya. Mengapa pula pada akhirnya harus berubah dengan sangat cepat. Seperti kilat yang datang kala hujan, hanya segaris sinar yang cepat lalu hilang lagi tanpa kita tahu kapan kembali.

            Akan tetapi, kita juga tahu mungkin petir akan kembali pada hujan yang akan datang. Namun, rasa apakah ia akan kembali pada perjumpaan berikutnya? Apakah rasa akan datang pada senyum yang selanjutnya, begitu manis ketika diperlihatkan? Atau ternyata semua hanya jadi rekayasa yang takpernah ada. Hanya rekaya yang konsistenannya akan dijaga oleh sang pembuat, yang bergantung pula padanya akan lama atau tidak untuk melihat apakah ia ulung dalam mereka ataukah ia justru terlalu mudah dibaca.

            Segala yang mendesak dan meringsek pada sesak akan meninggalkan bekas. Seperti batu yang jadi bolong. Seperti anak cucu adam yang kelak akan kembali ke surga. Seperti cuaca yang akan kembali cerah. Pada suatu hari baik nanti. 


Minggu, 13 November 2011

HARAPAN UNTUK INDONESIA


Harapan jangan-jangan bermula dari sikap yang takmengeluh pada batas (Mohammad, 2008: 10). 

Boleh jadi sebuah harapan adalah sebuah sikap yang harus tetap dipertahankan agar juga takada keluhan tentang negara ini yang kian hari kian banyak konflik. Harapan bahwa kepemimpinan SBY hingga 2014 mendatang mampu mengubah sedikit nasib rakyat. Tidak perlu terlalu banyak sisa tiga tahun ke depan mungkin terlalu singkat untuk sebuah kemajuan besar.
Kita sudah melihat bagaiman India, Vietnam, dan Korea memperbaiki diri sebagai sebuah negara. Perbaiki dirilah yang harusnya dilakukan oleh negara ini. Dimulai dengan diri para pimpinan sejak lembaga terkecil. Bukan dimulai dari gedung DPR/MPR sana karena penuh sorotan. Akan tetapi, harusnya lembaga desa yang kini pun penuh manipulasi mampu memperbaiki diri.
Dimulai dari hal yang kecil itulah harusnya negara ini memulai untuk membuat sebuah perbaikan.  Kepercayaan rakyat akan kembali ketika tiap lembaga pemerintah yang saat ini lebih banyak memperkaya diri mereka sendiri kembali sadar bahwa tugas mereka adalah untuk rakyat karena mereka sampai pada tempat mereka sekarang pun oleh rakyat.
Harapan dan kepercayaan ini telah lama pergi dari negara ini. Lihatlah bagaimana olah raga yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang milikrakyat pun dipolitisasi oleh pemerintah dan keinginan memperkaya pribadi. Kini, kita melihat bagaimana KEMENPORA sedang membenahi diri dengan kawalan masyarakat luas dan saya rasa harapan untuk melihat SEA GAMES berjalan lancar bukanlah impian semata.
Saya adalah orang yang percaya bahwa negara yang kaya ini selalu punya harapan. Negara ini akan bangkit meski belum dapat berlari, kita masih bisa melihat bagaimana dengan sebuah guncangan negara ini masih saling membantu maka kali ini kita pun akan membangun negeri ini sebab apa yang telah kita lalui sudah dari cukup untuk sebuah kemajuan besar yang akan dicapai bangsa yang besar ini.
Karena harapan akan selalu ada untuk mereka yang percaya mimpi. Negara ini masih punya banyak mimpi-mimpi yang segera jadi nyata dengan pemerintahannya yang akan segera membaik dan takmengeluh pada batas.

Jumat, 11 November 2011

Bersyukur Bukan Berarti Cepat Puas


Tuhan mengajarkan untuk bersyukur, tetapi puas terlalu cepat adalah sebuah pilihan.
                Saat ini setiap hari adalah hari ketika rutinitas berganti dan matahari takpernah benar mampu dipandangi. Itu pasti adalah sebuah keberuntungan, kala apa yang dingini datang dengan cepat dan seharusnya memilih akan begitu mudah. Sayangnya manusia terlalu menikmati dunia dan kepuasan itu takterhingga. Bersyukur bukan sebuah lupa hanya jadi selalu seperti juga ingin.
                Maka apa yang dingini akan terus ada, takberhenti di suatu titik. Dapat yang ini akan ada yang itu. Setelah hari ini akan ada besok, nanti, dan masih ada hari-hari dengan keinginan baru.
                Akhirnya yang ditakuti adalah ketika suatu jalan terbuka  lebar, tetapi hati mulai punya tanya yang begitu banyak. Apakah ya? Mungkinkah ya? Tidakkah ini akan terlalu? Bagaimana kalau?  Seperti juga hasrat yang takhingga pertanyaan ini tidak akan habis, serupa balita yang ingin tahu dunianya yang kecil penuh dengan tanda (?). ataukah seorang filsuf yang ingin memaknai arti hidup?
TUHAN SELALU MEMBERIKAN PILIHAN
                Mapan dan puas itu abstrak. Mapan itu bukan seberapa besar rumah yang dibangun. Bukan berapa banyak mobil di garasi. Puas itu bukan besok takada lagi yang dingini tetapi hal yang besok akan ada lagi untuk digapai. Karena itu, mereka jadi abstrak bagi tiap orangnya.
                Masing-masing kita mencarinya, dalam dinginnya pagi, dalam pekatnya malam, pada teriknya siang, dan pada indahnya senja.  Lalu bagaimanakah kita menggapainya ada jalan yang lurus, ada tikungan, semua digariskan dan bukankah Ia pun telah berjanji?

Selasa, 01 November 2011

RUANG INI KITA


Ruang ini jadi begitu kosong tanpa kita sadari. Hilang sudah canda kecil yang biasa terurai. Hilang sudah gelak tawa itu. Ya, mungkin kita memang harus berpindah. Dari satu ruang ke ruang lain tanpa jeda. Kita hanya akan mengingat ini sebagai sebuah kisah indah. Seulas senyum boleh jadi akan terukir ketika kita mengingatnya. Bisa jadi juga sedu sedan yang akan tertata di hadapan kita. Tetapi semua dalam kuasaNya. Kita juga harus berterimakasih atas segala.
Terima kasih karena mempertemukan kita pada sebuah siang terik di sebuah pantai dan menautkan banyak tangan. Mengisi baku jari menjadi tak bersendiri. Atau juga membiarkan kita merasakan perasaan yang begitu riang sebelum masuk menuju malam yang dingin yang juga tidak mudah kita lupakan.
Malam-malam itu kita hadapi bersama. Dari teriakan lelah. Hingga tawa canda atas segala laku yang taktertebak. Dari segala amarah hingga berubah jadi tangis lalu maaf yang selalu disediakan. Perubahan warna kita mungkin tampak tanpa kita sadari. Gradasi itu jadi sebuah simbol bukan sekadar nama. Bahkan ketika kita harus masuk pada menuju malam puncak.
Kita menyebutnya malam laknat. Malam yang kita tidak akan pernah lupa. Malam tanpa tidur dalam waktu 24 jam. Malam yang begitu panas namun tidak membiarkan kita berkeringat. Seolah pori-pori pun tertutup ketakutan. Dan deru nafas dan degup jantung begitu cepat.  
Esok harinya kita harus mandi lumpur. Mencoba mengangkat kedua tangan dan kaki dalam ayunan hitungan. Marilah kita ingat segalanya dalam indah. Hanya keindahan. Lalu, mengingat peluk seorang teman yang begitu lega dalam tangisnya. Bahwa tangis yang di pagi itu tumpah adalah tangis haru bahwa kewajiban kita dalam keluarga besar itu berakhir sejenak. Hanya sejenak, karena setelah ini kita masih harus melaju dalam ruang yang juga masih milik kita bersama.
Kita begitu betah di dunia. Bagiku itu adalah hal yang lumrah. Itulah mengapa dalam empat tahun terasa cepat berlalu. Teman dalatang silih berganti. Musuh hilang perlahan. Botol kadang penuh. Kadang kosong. Tetapi kita masih bisa bertemu. Sesekali. Hanya sesekali. Namun, jadi pengobat luka. Pengobat rindu akan keluarga yang tanpa disadari akan mulai menapak pada sesuatu yang nyata. Bukan lagi simulasi seperti yang terjadi di ruang ini.
Masihkah kalian akan mengingat ruang ini dengan jelas. Masihkah jabat erat atau sekadar sapa bermakna sama? Selamat masuk menuju malam yang sebenarnya. Selamat masuk pada rimba belantara yang menunggu di depan jalan terang itu. Ya, Selamat. Hanya itu yang dapat terungkap. Tetaplah berteguh. Tetaplah melaju. Maka jayalah kita. Jayalah kita yang pernah satu dalam ruang ini.

Jatinangor, 5 Oktober 2010
Ingatan akan kalian kawan. Jayalah kita semua. 

logo Gradasi       




Antara CherryBelle dan Budaya “Berak” Masyarakat Indonesia


Di tempat saya menghabiskan waktu saat ini saya sering kali merasa kedinginan dan perut saya yang orang desa ini acap kali mules tiap kali kedinginan. Di saat yang sama saya pun sering kali merasa taknyaman namun apa daya saya pun takmungkin menahan terlalu lama apalagi hingga waktu pulang.
            Kala itulah saya bertanya bagaimana orang zaman dulu membuang air besar? Sementara saat ini orang sudah sangat merasa keren ketika kamar mandinya disertakan dengan WC “duduk” dan alat-alat canggih lainnya. Saya yang dari kecil terbiasa jongkok pun akhirnya harus membiasakan diri dengan kebiasaan duduk baru ini. Meskipun, saya masih selalu merasa bahwa saat jongkok saya merasa lebih leluasa dan total membuang kotoran.
            Pertanyaan saya pun bertambah, bukankah wc duduk ini berasal dari budaya barat bahkan ada sebuah merk kloset American Standard. Saya memang belum mencari buku yang merujuk pertanyaan saya bagaimana orang zaman dulu buang air besar untuk dapat jawabannya dan hal ini hanya berakhir pada pertanyaan yang belum terjawab. Akan tetapi, saya ingat zaman Warkop DKI kita masih melihat bagaimana mereka menampilkan orang buang air besar di jamban yang langsung menuju empang.
            Kisah Dono, Kasino, dan Indro diperkuat dengan zaman dulu saat di Sengkol, kampung saya yang dipinggiran ini masih punya banyak empang yang bukan dijadikan area pemancingan seperti sekarang orang-orang lebih suka buang air besar di empang dan di sana pun terjadi silaturahmi. Ya, tentu saja ada silaturahmi karena acap kali mereka akan berbincang dari kabin mereka masing-masing. Ke manakah hal itu sekarang? Ya, mungkin karena modernisasi, tetapi apakah zaman dulu pun masyarakat Indonesia terbiasa buang air besar dengan duduk? 
            Masalah buang-membuang ini sejalan dengan maraknya boyband dan girlband yang juga merupakan budaya luar yang bukan diadopsi tetapi dicontek habis-habisan. Menampilkan wajah-wajah campuran, kulit yang seperti keju, dan tarian yang sedang naik daun yang hampir semuanya seragam. Ketika “keseksian” adalah rok mini yang nampak unyu dengan tari-tari modern sementara di tempat lain sekarang tari jaipong nan eksotis itu harus tidak lagi menampilkan kulit. Ketika anak laki-laki sekarang lebih memilih belajar tari modern dibandingkan pencak silat yang beragam atau melihat keindahan Indonesia dengan bertualang.
            Saya sering kali bertanya kenapa takada anak muda dengan boyband dan girlband ini yang memadukannya dengan tarian Indonesia asli yang jumlahnya takterhitung. Saat ini banyak orang yang begitu berambisi dengan masuknya Pulau Komodo untuk tujuh keajaiban dunia tetapi bukankah pengakuan dunia terhadap Indonesia tidak berakhir di situ? Kita pernah hampir kehilangan batik ketika itu kita seperti kebakaran jenggot dan apakah di lain waktu kita baru akan sadar dengan memudarnya budaya ketika “mungkin” kita akan kembali di rampok.