Rabu, 06 November 2013

Di dalam Gerbong

Kamu menoleh dan yang terpantul masih hanya wajah pucat itu.

Kaca-kaca itu gelap, seperti malam tanpa bintang, seperti espresso yang kau tenggak tanpa sisa. Kamulah satu-satunya penumpang tersisa, kamu menjadi penumpang terakhir. Akan tetapi, hatimu sudah lama tidak bersamamu di kereta.

Kakimu melangkah, ia sudah tahu meski tidak lagi perlu kamu perintahkan.

Dulu kamu selalu menanti saat di kereta, kamu membayangkan "Serendipity" bahwa tanpa kata kalian akan di gerbong yang sama. Namun kini kereta adalah neraka saat kamu tahu bahwa kalian tidak perlu lagi menerka.

Hatimu nelangsa, tapi takpernah kamu ucapkan. Matamu merah namun kamu berusaha agar tidak basah.

***

Matahari bewarna Barbie, desak-desakan itu membahagiakanmu. Takada kata hanya pandangan mata. Tidak satu sentuhan pun di antara kalian hingga stasiun terakhir tapi hatimu tidak bisa lebih berbahagia.

Obrolan itu meluncur tanpa kata. Kamu selalu senang saat tatapan kalian beradu. Ketika di bola matanya hanya wajahmu.

Awalnya hanya saat berangkat, detik-detik berikutnya kalian mencoba mencocokan waktu meski tanpa janji.

Hari itu stasiun penuh dengan manusia, kamu berduka. Harimu buruk dan kamu tahu betapa brengseknya Jakarta. Kamu tidak akan dapat tempat duduk. Kamu bermuram durja.

Tiba-tiba saja kamu sudah dialiri kehangatan, kamu taklagi bisa berbohong. Hatimu melonjak, kamu tahu bahwa sentuhannya yang setitik membuat awan gelap itu mulai hilang.

Ia tidak mengucapkan kata "kenapa" ia tidak berucap mesra. Ia hanya memberi sentuhan tepat di ubun-ubun kepala dan sebotol air putih.

Kamu ingin melonjak, membawanya ke warung kopi favoritmu, di sofa empuk dan lampu redup. Namun, kamu ingat bahwa dunia kalian hanya ada di dalam gerbong.

Kehadirannya membuatmu gila. Membuatmu ingin kereta mogok dan waktu berhenti di dalam gerbong. Kamu ingin ia selalu menjagamu di antara rem kereta yang tiba-tiba.

Hari ini kamu berbahagia. Kamu ingin berbagi dengannya. Kamu berdoa dalam hati, "smoga di gerbong ini ada wajahmu."

"Sudimara," suara itu meraung dan detak jantungmu selalu lebih cepat saat mendengarnya.

Tapi kamu kecewa. Tidak kamu temukan wajahnya padahal kamu menyiapkan sekotak susu ultra untuknya. Kamu bertanya-tanya namun takut menerka.

"Tanah Abang," harapanmu di dalam gerbong habis saat keretamu menepi di jantung kota. Kamu melangkah sambil menggenggam susu untuknya.

Jantungmu hampir copot saat ada yang ingin merebutnya. Ternyata itu dia, matanya sisa segaris karena senyum tulus seperti biasa. Rambutnya berantakan tidak seperti biasa.

Kamu takut. Kamu sadar betul segalanya hanya soal waktu. Saat matanya meredup. Saat di matanya tidak lagi ada wajahmu. Akan tetapi, kamu juga sadar. Sakit hati bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari, dilatih, pun dipersiapkan.

Saat hari itu tiba.

Matanya redup saat matamu penuh cahaya. Ia tidak terlihat seperti biasanya. Kamu melihatnya seperti melihat melihat seseorang tanpa satu kebahagiaan pun tersisa.

Kamu ingin memeluknya. Memegang puncak kepalanya seperti yang biasa ia lakukan.

Ia menepisnya tanpa kata.

Hari itu kamu tahu segalanya akan berakhir. Hari saat matahari kembali terik. Saat penuhnya kereta kembali menyakiti tiap jengkal tubuhmu. Kamu ingin menangis sejadi-jadinya. Menahannya untuk tidak meninggalkamu.

Kamu tahu kamu tidak perdaya.

Kalian tidak pernah memulai dengan kata.

Hari itu ia menggenggam tanganmu, bukan sekadar sentuhan.

Hari itu ia memintamu duduk di sebelahnya menghadap matahari. Kamu menurutinya.

Matahari sudah jauh. Malam pekat telah datang. Kamu sudah bisa lihat lampu-lampu Jakarta menyala terang. Dan suara klakson di kejauhan.

Kalian menaiki kereta terakhir. Ia memintamu duduk sementara ia berdiri. Ia berdiri di depanmu.

Seperti biasa ia akan turun lebih dulu. Kamu ingin menahannya.

"Sudimara," suara pengeras suara terdengar seperti lengkingan yang menyesakkan.

Ia menjauh. Pintu tertutup. Kamu membayangkan dirimu menekan rem mendadak seperti dalam film-film dan menghentikannya, menahannya untuk pergi dan beradu bibir hingga perih.

Sayangnya,  kamu hanya terduduk tanpa ingin bangun lagi.

"Serpong."

Kamu sampai, tatapanmu kosong. Kamu tahu kamu selalu terpisah sekaligus menyatu dengan Jakarta. Seperti dunia yang pernah kalian punya yang hanya mengantarkan pasa tujuan.

***

Kamu tahu yang membuatmu pucat adalah kamu melihatnya, menggenggm tangan perempuan lain. Kamu tahu yang membuat malam begitu pekat adalah matanya yang segaris bukan untukmu.

Kalian tidak pernah memulainya dengn kata. Ia tidak mengucapka cinta. Mata kalian beradu dan kamu tahu ini hanya di dalam gerbong.

Tanah Abang - Serpong
7-8 November 2013