Sabtu, 29 Oktober 2011

Catatan Seminggu Sudah Menerjang Jakarta


Seminggu yang tidak terasa. Mungkin jadi awal yang menyenangkan.

 Saya hanya seorang anak manusia yang sedang mencari tahu apa sebenarnya yang saya cari hingga saya harus bangun pagi dan pulang kala mentari yang saya lihat pada pagi hari sudah takterlihat ketika saya harus keluar dari lantai 19. Hingga hari saya tidak tahu apa yang akan jadi apa ketika tiap karung berlian yang sedang saya kumpulkan ini  kelak.
            Sore ini (28 Oktober 2011), saya menghadiahkan pada diri saya sendiri untuk merayakan seminggu saya bolak-balik Jakarta dengan jalan dari Antara ke Stasiun Tanah Abang sebab sebelumnya adalah hari-hari berdesak-desakan dalam 502 yang selalu padat dan tersendat macet. Bukan hadiah yang mewah mungkin, ini hanya sebuah hiburan yang amat manusiawi, bukan mall hanya hiburan dengan setiap manusia di jalanan sebagai pemainnya.
            Senang rasanya ketika menyebrang dengan jalan yang lengang karena lampu merah. Merasakan aspal yang basah, ya aspal yang basah, jangan cari tanah, blok-blok mungkin masih ada. Lampu jalan pun jadi aksesoris yang menyenangkan serta gedung pencakar langit kala kepala mendongak ke langit.  
            Sekarang saya punya rutinitas baru yang membuat level saya sebagai manusia bertambah lagi. Kini, saya menjadi pekerja. Entahlah tentang gaji, semua menjadi kesenangan ketika saya mendapatkan pekerjaan yang memang saya harapkan. Apalagi kenyataan bahwa saya belum ada pengalaman kerja kecuali jaga warnet satu bulan setengah termasuk di dalamnya.
Kembali belajar mengenal orang-orang baru yang entah sampai kapan kami akan bersama. Ruang bermain baru, gedung pencakar langit 20 lantai yang membuat saya selalu membayangkan bagaiman kalau kebakaran, apakah saya harus melompat untuk menyelamatkan diri? Udara baru yang diracuni dengan freon  agar udara selalu sejuk yang hingga hari ini masih membuat saya dikerok sama kakak saya. yang tak boleh ketinggalan adalah kotak yang membawa saya ke lantai 19 dan kembali menjejak bumi yang masih selalu membuat saya keliyengan dan mencari pegangan tiap kali keluar.
Kendaraan baru untuk menujunya, masih milik orang lain dan lagi-lagi karena kesenangan akhirnya ini pun untuk beberapa saat lebih banyak senangnya. Tempat makan baru yang hingga hari ini belum semua saya jajaki sepenuhnya. Ya, inilah hidup saya sekarang. Sementara ini, mungkin saya rasa ini yang terbaik. Ketika saya taklagi berburu pekerjaan di laman apapun.
Hanya harus bangun pagi, berangkat lebih pagi, dan menikmati tiap yang diberi. Sesekali khawatir karena kereta gangguan atau langit yang ternyata mendung padahal seharian saya tidak juga melihat langit.
            Alhamdulillah karena ternyata setiap kali saya pamit saya tau ibu saya terlihat senang melihat anaknya taklagi di rumah dan bangun siang. Raut bahagia ponakan saya ketika tau saya kerja yang mereka tau bahwa traktiran akan segera jadi kenyataan.
            Lalu akhirnya memang sebuah kebahagiaan yang bukan melulu materi itu sebenarnya tidaklah begitu sulit. Orang Jakarta ini tidak sadar bahwa mereka disuguhi banyak keindahan di Jakarta  jika mereka mau sedikit saja bersabar. Bahkan mereka pun kadang lupa bersyukur di kala dapat tempat duduk di kereta padahal itu pun jadi barang mewah. Hingga akhirnya saya membuat kutipan Hidup itu seperti naik kereta api, kadang duduk, kadang berdiri, tetapi kita tahu kita pasti sampai di tujuan.
            Akan tetapi, bukankah cara pandang setiap orang berbeda? Kita melihat dengan cara pandang yang berbeda yang membuat ini menyenangkan. Smoga ini selalu menyenangkan. Smoga akan terus menyenangkan dan tidak berakhir hanya seminggu menerjang Jakarta.

Sengkol, 28 Oktober 2011

Minggu, 23 Oktober 2011

KATANYA PESTA DEMOKRASI

undangan kakak saya



TPS VII
Sabtu, 22 Oktober  2011 kemarin konon adalah pesta demokraksi rakyat Banten. Ada pemilukada yang akan menentukan siapakah penguasa nomor satu di Banten. Lima tahun yang lalu saya sudah punya pilihan sayangnya kala itu hanya berakhir pada saya yang tidak pulang di hari pemilihan tersebut.

Kali ini jangan tanya, bapak saya sejak pagi sudah mewanti-wanti bahwa saya harus “nyobolos”. Bapak bahkan memberi wejangan sepagi itu, “sana nyoblos, cepet kok, kamu masih muda masih banyak harapan, sapa tau kehidupan berubah.”

Maka, dengan sangat terpaksa saya datang pukul 11-an, saya kira saya akan menemukan keramaian dan ternyata yang saya temukan hanyalah para petugas dan beberapa pedagang yang harap-harap cemas karena harapan mereka tentang keramaian buyar seperti yang saya punya.

Saya pun mulai bermain dengan pikiran saya. Apakah kini warga di rumah saya pun memiliki kejenuhan tentang pemilu? Apakah mereka menyadari bahwa berapa kali pun pemimpin berubah daerah ini sama saja? Para perempuan tetap menjadi asisten rumah tangga dan lelakinya akan menjadi buruh kasar? Naasnya, semua pertanyaan saya hanya ada di dalam isi kepala saya tanpa saya tanyakan pada mereka.

TPS saya adalah TPS 02 dan tempatnya adalah di sekitar pohon rambutan nan rindang selain itu, disediakan bale-bale yang tadinya untuk menunggu giliran didaulat jadi tempat tidur-tiduran oleh para petugas. Saat saya datang hanya saya pemilih yang datang. Saya serahkan undangan saya yang saat itu juga saya dipanggil “ibu teti.”

TPS II

Sampai di kotak suara saya sangat berharap menemukan pulpen sehingga saya bisa menggambar seperti saat pemilu 2009 kemarin. Sayang di sayang yang disediakan adalah paku. Oleh karena itulah yang terjadi adalah saya menusuk semua wajah yang ada di kertas tersebut. Saya lipat kembali kertas suara saya, masuk kotak, dan terakhir saya mencelupkan kelingking saya ke cairan biru yang disediakan. 

Kalian yang sebagian kecil membaca ini mungkin akan menghujat saya, saya menyia-nyiakan suara yang saya punya. Akan tetapi, bagi saya tidak memilih pun adalah pilihan. Justru mereka yang tidak memilihlah adalah orang-orang terpilih (pembenaran saya).

Hanya saja, salahkah saya ketika saya tau bahwa suara yang beredar di sekitar rumah saya memang sudah dibeli? Selalu ada serangan fajar tiap kali ada pemilu ataupun pemilukada di daerah rumah saya. Jangan tanya bagaimana ketatnya pemilihan Walikota Tangerang Selatan kemarin. Tiap kali pengajian ibu-ibu akan pulang dengan uang Rp 30.000.

Saya memang tinggal di kampung, jangan tanya berapa banyak pengangguran di sini. Mereka secara terang-terangan akan memilih yang memberi lebih banyak dan yang saya tau kali ini pun begitu. Masihkah saya harus memberikan suara saya yang kecil ini untuk seseorang yang sejak awal sudah takjujur?

Banyak orang yang menginginkan perubahan dan kali ini masihkah saya harus memercayai bahwa perubahan akan datang dari para calon pemimpin ini. Ah tetapi ini masalah subjektivitas dan interpretasi saya. Siapapun punya caranya, mari kita berubah dengan cara kita masing-masing untuk perubahan yang kita inginkan untuk negara tercinta ini.

Sengkol, 23 Oktober 2011

Rabu, 19 Oktober 2011

101010


Manusia tumpah ruah di sana. Berjuta bahkan mungkin berpuluh juta pasang kaki. Dari yang mencari kesenangan atau mungkin hanya mencari keberadaan karena katanya di sana adalah tempat yang akan membuat dirinya ada. Kaki dengan sepatu termahal hingga alas kaki yang hanya dipakai di kamar mandi ada di sana. Akan tetapi, tidak ada yang jelas tahu apa yang sebenarnya mereka cari di tempat itu bahkan ketika mereka telah kembali kepada peraduan mereka dengan kaki yang amat pegal dan yang diharapkan hanya kasur, jawaban itu tidak datang juga.
Sampah pun tumpah ruah di sana. Baik yang dapat diurai dari mikroba yang paling kecil hingga yang mungkin manusia pun enggan menampungnya. Dimulai dari plastik, kertas, bahkan sampah pembuangan manusia. Tinja yang mereka tinggalkan pada savety tank di tempat itu. Tukang sampah akan amat girang melihat tempat itu. Mereka tau mereka akan panen, takperlu keliling atau jauh-jauh mencari karena di tempat itu sampah yang ia cari jelas terpenuhi.
Mungkin, di tempat itu pula banyak sampah masyarakat. Ah, tapi yang satu itu akan terlalu sulit dibedakan. Tidak seperti sampah lain yang dengan mudah kita identifikasi. Pada akhirnya ini pun jadi sampah. Ketika yang ingin saya katakan jauh dari apa yang amat ingin saya ungkapkan. Lebih baik saya tidur saja.

Jatinangor, 101010