Kamis, 13 Oktober 2011

Percayalah Ini Nyata dan Mungkin Terjadi Setiap Hari



                7 Oktober 2011 lalu saya menumpang kereta KRL menuju Tanah Abang. Sejujurnya saya selalu suka dengan kereta. Entahlah saya rasa transportasi ini begitu manusiawi. Lalu akhir-akhir ini saya kian menikmatinya. Jarak yang saya tempuh pun kian jauh, jika saya biasanya hanya menumpang sampai Tanah Abang yang hanya membutuhkan waktu 45 menit hingga 60 menit beberapa waktu ini saya menumpang hingga Depok dengan waktu tempuh dua jam dari stasiun Serpong.
                Saya menikmati menumpang kereta. Menikmati ketika kebahagiaan terjadi begitu mudah. Ketika barang yang dijajakan laku dengan cepat dan saya tahu betapa masih banyak orang baik di negara ini, terlebih di dekat saya kala itu.
                Termasuk 7 Oktober itu, beberapa stasiun awal sebelum sampai Tanah Abang saya tahu saya begitu berbahagia. Saya dapat tempat duduk dan ketika itu orang di sebelah saya dan seberang saya begitu baik. Setiap ada penjual mereka membeli, setiap ada pengemis mereka memberi (walaupun ini tidak baik biarlah ini jadi bagian menyenangkan).
                Di Stasiun Pal Merah saya mulai merasa begitu merana berada di kereta itu karena taktahu harus berbuat apa. Ada sepasang orang turut menumpang di KRL itu. Yang laki-laki lebih tepat untuk menjadi ayahnya dan perempuan muda yang menurut saya masih belasan itu harusnya sedang menikmati masa paling indah dalam hidupnya sebagai remaja.
                Sayangnya bayangan bahagia remaja perempuan itu hanya ada dalam bayangan saya. Entah mengapa perempuan itu berwajah muram, pandangannya sangat kosong, dan saya melihatnya sebagai seonggok daging yang bergerak. Mereka tidak mendapatkan duduk, lalu berdiri  di seberang saya sambil berpegangan pada gagang pegangan, ini masih biasa. Yang tidak biasa adalah ketika laki-laki ini mulai menarik perempuan itu untuk lebih mendekat padanya dengan cara yang amat tidak sopan. Lelaki ini memegang pantat perempuan itu dan yang terparah lelaki ini dengan kuku jari telunjuknya yang panjang masuk pada lubang pantat sang perempuan dan ini terjadi hingga tiga kali.
                Pikiran saya mulai melayang, ini jelas sering terjadi di transportasi umum. Sebelumnya saya pernah mengalaminya sendiri ketika seorang lelaki mendekati saya sambil membuka resleting celananya dan ini masih terjadi di kereta.
                Akan tetapi, haruskah saya trauma? Saya mungkin juga takmampu membela diri dengan sebuah perkelahian. Namun, saya enggan trauma dan memilih untuk terus meski takdapat saya pungkiri saya sering kali harus lebih waspada setiap waktunya. Tidak adakah sebuah tempat yang benar aman bagi perempuan? Pertanyaan yang mungkin terlalu sulit untuk dijawab.
                Saya juga orang yang percaya dengan ungkapan bahwa “perempuan yang mengundang”. Ini masuk akal ko, ketika perempuannya sendiri berpakaian untuk diperhatikan. Sayangnya, saya tahu saya tidak berperilaku seperti itu, kala itu saya tau persis hanya wajah dan telapak tangan saya yang kelihatan pun perempuan pada 7 Oktober ini.
                Saya tidak akan menyalahkan pemerintah yang kurang memakmurkan rakyatnya. Saya tiaka akan menyalahkan masyarakat kita yang kurang berpendidikan sehingga “sulit” membedakan yang benar dan salah. Saya rasa tidak waktunya untuk menyalahkan. Negara ini sudah terlalu melegitimasi patriarki yang akan membuat perempuan menjadi nomor dua. Perkosaan hanya sebuah isu yang akan hilang dalam waktu cepat. Solusi hanyalah sementara waktu. Mungkin lebih tepat bahwa perempuannyalah yang wajib untuk menjaga dirinya.

Serpong. 13 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar