undangan kakak saya |
TPS VII |
Sabtu, 22 Oktober 2011 kemarin konon adalah pesta demokraksi rakyat Banten. Ada pemilukada yang akan menentukan siapakah penguasa nomor satu di Banten. Lima tahun yang lalu saya sudah punya pilihan sayangnya kala itu hanya berakhir pada saya yang tidak pulang di hari pemilihan tersebut.
Kali ini jangan tanya, bapak saya sejak pagi sudah mewanti-wanti bahwa saya harus “nyobolos”. Bapak bahkan memberi wejangan sepagi itu, “sana nyoblos, cepet kok, kamu masih muda masih banyak harapan, sapa tau kehidupan berubah.”
Maka, dengan sangat terpaksa saya datang pukul 11-an, saya kira saya akan menemukan keramaian dan ternyata yang saya temukan hanyalah para petugas dan beberapa pedagang yang harap-harap cemas karena harapan mereka tentang keramaian buyar seperti yang saya punya.
Saya pun mulai bermain dengan pikiran saya. Apakah kini warga di rumah saya pun memiliki kejenuhan tentang pemilu? Apakah mereka menyadari bahwa berapa kali pun pemimpin berubah daerah ini sama saja? Para perempuan tetap menjadi asisten rumah tangga dan lelakinya akan menjadi buruh kasar? Naasnya, semua pertanyaan saya hanya ada di dalam isi kepala saya tanpa saya tanyakan pada mereka.
TPS saya adalah TPS 02 dan tempatnya adalah di sekitar pohon rambutan nan rindang selain itu, disediakan bale-bale yang tadinya untuk menunggu giliran didaulat jadi tempat tidur-tiduran oleh para petugas. Saat saya datang hanya saya pemilih yang datang. Saya serahkan undangan saya yang saat itu juga saya dipanggil “ibu teti.”
TPS II |
Sampai di kotak suara saya sangat berharap menemukan pulpen sehingga saya bisa menggambar seperti saat pemilu 2009 kemarin. Sayang di sayang yang disediakan adalah paku. Oleh karena itulah yang terjadi adalah saya menusuk semua wajah yang ada di kertas tersebut. Saya lipat kembali kertas suara saya, masuk kotak, dan terakhir saya mencelupkan kelingking saya ke cairan biru yang disediakan.
Kalian yang sebagian kecil membaca ini mungkin akan menghujat saya, saya menyia-nyiakan suara yang saya punya. Akan tetapi, bagi saya tidak memilih pun adalah pilihan. Justru mereka yang tidak memilihlah adalah orang-orang terpilih (pembenaran saya).
Hanya saja, salahkah saya ketika saya tau bahwa suara yang beredar di sekitar rumah saya memang sudah dibeli? Selalu ada serangan fajar tiap kali ada pemilu ataupun pemilukada di daerah rumah saya. Jangan tanya bagaimana ketatnya pemilihan Walikota Tangerang Selatan kemarin. Tiap kali pengajian ibu-ibu akan pulang dengan uang Rp 30.000.
Saya memang tinggal di kampung, jangan tanya berapa banyak pengangguran di sini. Mereka secara terang-terangan akan memilih yang memberi lebih banyak dan yang saya tau kali ini pun begitu. Masihkah saya harus memberikan suara saya yang kecil ini untuk seseorang yang sejak awal sudah takjujur?
Banyak orang yang menginginkan perubahan dan kali ini masihkah saya harus memercayai bahwa perubahan akan datang dari para calon pemimpin ini. Ah tetapi ini masalah subjektivitas dan interpretasi saya. Siapapun punya caranya, mari kita berubah dengan cara kita masing-masing untuk perubahan yang kita inginkan untuk negara tercinta ini.
Sengkol, 23 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar