Pagi ini saya terusik oleh sebuah twit seorang teman yang membuat saya berpikir ulang tentang sebuah hal. Kira-kira begini isi twitnya “lo follow aa gym dengan kelakuaannya yang minus itu?”
Oke mana kelakuan Aa Gym yang minus, apakah karena ia poligami? Ataukah karena istri pertamanya ia ceraikan? Bukankah semua adalah haknya sebagai warga negara, lalu bukankah dari sudut pandang Islam pun ini takada larangan.
Sepengetahuan saya yang sedikit ini poligomi diperbolehkan jika memang sang suami mampu berbuat adil. Sedangkan mengenai perceraian tidak ada larangan, hanya saja sangat dibenci Allah, setau saya loh yah.
Maka saya jadi berpikir ulang mengenai si poligaminya di Indonesia dan juga tentang bagaimana subjektivitas selalu menjadi hal terdepan dalam menilai sesuatu. Ya, seperti kita pasti menilai sesuatu dari luarnya dulu sebelum melihat kedalaman sesuatu.
Sayangnya di Indonesia subjektivitas menjadi barang dagangan. Lihatlah bagaimana infotaiment begitu laris-manis di televisi, mau jam berapa pun menyalakan televisi pasti ada. Begitu pun bagaimana orang-orang menilai Aa Gym ini, kita meninggalkan apa isi ceramahnya, kita tidak lagi melihat kebaikan-kebaikannya yang tersisa hanya bahwa ia berpoligami dan bahkan menceraikan istri pertamanya yang telah berpuluh tahun bersamanya.
Saya pun masih harus belajar untuk objektif dan saya rasa ini pelajaran yang sulit. Akan tetapi harusnya belajar ini pun harus diakomodisasi, misalnya dengan televisi yang kini jadi sebuah kebutuhan primer mampu memberi tayangan yang baik. Tidak mengarahkan terus pada kebenaran yang dipercayai satu lembaga yang akan menjadi kebenaran total bagi semua orang.
Yang terlalu pagi
Serpong, 15 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar