Dan hanya batu yang konsisten dengan segalanya. Tetapi, batu pun akan bolong jika terus ditetesi air. Benarkah ada yang konsisten dalam hidup. Karena jika benar begitu harusnya Adam dan Hawa takakan pernah sampai di bumi. Mungkin kita yang konon adalah anak dan cucu Adam ini tetap berada di surgaloka. Karena jika Hawa konsisten untuk tidak pernah menginginkan buah quldi mungkin mereka dan kita semua akan tetap berada di nirwana.
Apakah rasa pun juga seperti Adam dan Hawa yang tidak konsisten? Karena ternyata dalam sepersekian detik rasa bisa saja berubah. Rasa seperti juga udara yang akan berubah kapan saja tanpa tedeng aling-aling. Namun, apakah ia rasa harus berubah dengan cara menyakiti karena ketidakkonsisitenannya? Bukankah rasa yang tadinya diagung-agungkan itu begitu menggebu-gebu dan dalam tempat yang begitu istimewa di dalam hati sang pemiliknya. Mengapa pula pada akhirnya harus berubah dengan sangat cepat. Seperti kilat yang datang kala hujan, hanya segaris sinar yang cepat lalu hilang lagi tanpa kita tahu kapan kembali.
Akan tetapi, kita juga tahu mungkin petir akan kembali pada hujan yang akan datang. Namun, rasa apakah ia akan kembali pada perjumpaan berikutnya? Apakah rasa akan datang pada senyum yang selanjutnya, begitu manis ketika diperlihatkan? Atau ternyata semua hanya jadi rekayasa yang takpernah ada. Hanya rekaya yang konsistenannya akan dijaga oleh sang pembuat, yang bergantung pula padanya akan lama atau tidak untuk melihat apakah ia ulung dalam mereka ataukah ia justru terlalu mudah dibaca.
Segala yang mendesak dan meringsek pada sesak akan meninggalkan bekas. Seperti batu yang jadi bolong. Seperti anak cucu adam yang kelak akan kembali ke surga. Seperti cuaca yang akan kembali cerah. Pada suatu hari baik nanti.
keren.
BalasHapusah. jadi galau selesai membacanya.
ah jangan galau-galau walapun ketika menulisnya saya juga galu
BalasHapushahahaha