Selasa, 01 November 2011

Antara CherryBelle dan Budaya “Berak” Masyarakat Indonesia


Di tempat saya menghabiskan waktu saat ini saya sering kali merasa kedinginan dan perut saya yang orang desa ini acap kali mules tiap kali kedinginan. Di saat yang sama saya pun sering kali merasa taknyaman namun apa daya saya pun takmungkin menahan terlalu lama apalagi hingga waktu pulang.
            Kala itulah saya bertanya bagaimana orang zaman dulu membuang air besar? Sementara saat ini orang sudah sangat merasa keren ketika kamar mandinya disertakan dengan WC “duduk” dan alat-alat canggih lainnya. Saya yang dari kecil terbiasa jongkok pun akhirnya harus membiasakan diri dengan kebiasaan duduk baru ini. Meskipun, saya masih selalu merasa bahwa saat jongkok saya merasa lebih leluasa dan total membuang kotoran.
            Pertanyaan saya pun bertambah, bukankah wc duduk ini berasal dari budaya barat bahkan ada sebuah merk kloset American Standard. Saya memang belum mencari buku yang merujuk pertanyaan saya bagaimana orang zaman dulu buang air besar untuk dapat jawabannya dan hal ini hanya berakhir pada pertanyaan yang belum terjawab. Akan tetapi, saya ingat zaman Warkop DKI kita masih melihat bagaimana mereka menampilkan orang buang air besar di jamban yang langsung menuju empang.
            Kisah Dono, Kasino, dan Indro diperkuat dengan zaman dulu saat di Sengkol, kampung saya yang dipinggiran ini masih punya banyak empang yang bukan dijadikan area pemancingan seperti sekarang orang-orang lebih suka buang air besar di empang dan di sana pun terjadi silaturahmi. Ya, tentu saja ada silaturahmi karena acap kali mereka akan berbincang dari kabin mereka masing-masing. Ke manakah hal itu sekarang? Ya, mungkin karena modernisasi, tetapi apakah zaman dulu pun masyarakat Indonesia terbiasa buang air besar dengan duduk? 
            Masalah buang-membuang ini sejalan dengan maraknya boyband dan girlband yang juga merupakan budaya luar yang bukan diadopsi tetapi dicontek habis-habisan. Menampilkan wajah-wajah campuran, kulit yang seperti keju, dan tarian yang sedang naik daun yang hampir semuanya seragam. Ketika “keseksian” adalah rok mini yang nampak unyu dengan tari-tari modern sementara di tempat lain sekarang tari jaipong nan eksotis itu harus tidak lagi menampilkan kulit. Ketika anak laki-laki sekarang lebih memilih belajar tari modern dibandingkan pencak silat yang beragam atau melihat keindahan Indonesia dengan bertualang.
            Saya sering kali bertanya kenapa takada anak muda dengan boyband dan girlband ini yang memadukannya dengan tarian Indonesia asli yang jumlahnya takterhitung. Saat ini banyak orang yang begitu berambisi dengan masuknya Pulau Komodo untuk tujuh keajaiban dunia tetapi bukankah pengakuan dunia terhadap Indonesia tidak berakhir di situ? Kita pernah hampir kehilangan batik ketika itu kita seperti kebakaran jenggot dan apakah di lain waktu kita baru akan sadar dengan memudarnya budaya ketika “mungkin” kita akan kembali di rampok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar