Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya yang selanjutnya akan saya singkat jadi SPTJ adalah Pemenang Unggulan DKJ 2012. Novel ini berisi surat-surat seorang perempuan tentang perasaannya kepada seorang lelaki.
Jika saya sebagai penulis, saya akan bilang novel ini adalah novel yang aman. Jujur saja jika saya menulis saya selalu kesulitan tiap kali harus membuat percakapan yang luwes.
Dan saya melihat novel ini pun mengalami masalah demikian. Penulis sering kali kesulitan membuat percakapan yang luwes dan di novel ini jarang sekali ditemukan percakapan. Sekalinya ada percakapan pun diungkapkan dari si narator, bukan kutipan langsung. Meski begitu, si penulis sangat rinci menuliskan perasaannya, kemahiran yang biasanya memang lebih dimiliki penulis perempuan dibandingkan penulis laki-laki.
Masih jika saya penulis, tema novel ini sungguh sederhana, bahkan seorang teman dekat sangat menyesal ia tidak menyelesaikan tulisannya yang sialnya mirip dengan novel ini. Tentang sesuatu yang tidak tersampaikan. Tentang sesuatu yang jadi buah pikir entah telah berapa lama.
Nah sekarang sebagai pembaca, sungguh saya merasa perjalanan ini sangatlah panjang. Perasaan saya membaca novel ini mirip dengan perasaan saya saat membaca Amba. Amba jadi fantastis dengan resensinya dari GM, dan SPTJ dengan labelnya dari DKJ. Saya kira siapa yang tidak berekspetasi pada unggulan DKJ setelah Ayu Utami dengan Saman jadi pemenang. Meskipun bagi saya selanjutnya masih belum ada yang menyaingi Saman, semisal Hubbu yang kemenangannya jadi kontroversi atau Tanah Tabu yang juga tidak benar-benar meledak.
Untungnya SPTJ tidak seruwet Amba yang memasukkan banyak tokoh, jika ya novel ini benar-benar sepanjang judulnya.
Novel ini berisi surat-surat panjang tokohnya. Konsep surat kadang menarik, kadang tidak, dan dalam novel ini segalanya diungkap dengan begitu detail sehingga bagi saya, seolah narator keasyikan cerita dan ia lupa bahwa ia punya pendengar yang mungkin sekali jadi bosan dibuatnya.
Tanggal surat memang berurutan, berurutan berdasarkan keinginan si tokoh, lalu ia bilang hanya akan menulis sebulan sekali, lalu kembali semaunya. Namun, isinya acak, sesemrawut isi hati si tokoh. Ia maju mundur sesukanya, perasaan perempuan inilah yang menjadi benang merah. Tanggal dan urutan surat hanya jadi pertanda sudah sejauh mana ia menulis bagi saya. Hingga tiga perempat buku ini saya masih tidak sampai pada klimaks, padahal si tokoh sudah mengalami sakit parah seperti yang dia ungkap.
Bagi saya inilah kekurangan dari konsep surat. Dengan model surat yang utuh, pengenalan-klimaks-antiklimaks ada dalam tiap suratnya. Hasilnya pembaca diajak naik turun tanpa henti, dan dalam novel ini si narator menulis dengan cara yang sama berulang kali. Bukan pula jadi teror, perasaan kosong perempuan ini pun hanya jadi numpang lewat padahal ia sudah mengungkapkannya dengan sangat rinci.
Bahkan saat ia ketakutan akan kematian yang ia gambarkan dengan segitunya pun masih sulit menggugah saya. Padahal, di awal buku, si kurir yang merasa perlu untuk menyampaikan surat ini sudah memberi bocoran mengapa surat-surat panjang ini harus disampaikan.
Pada akhirnya saya merekomendasikan buku ini untuk mereka yang tidak bisa move on atau mereka yang tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan. Percayalah bahwa perasaan yang selesai adalah perasaan yang sampai dan mampu diungkapkan.
"Percayalah bahwa perasaan yang selesai adalah perasaan yang sampai dan mampu diungkapkan."
BalasHapusKalau kita gak mau perasaan kita selesai maka jangan diungkapkan ya jeng?
xixixixi
resensinya asik jeng tet. jujur. :)
salam tenkyuh,
wenc.