Untuk kalian ketahui bahwa saya menulis ini dengan segala gemuruh di dada. Bagaimana tidak, Stasiun Tanah Abang, pintu saya menuju Jakarta di hari-hari Ramadan dan mendekati Idul Fitri adalah neraka, cobaan terbesar yang harus saya hadapi selama sehari penuh.
Saya ingat di Sabtu dan Minggu sebelum masuk Ramadan Stasiun Tanah Abang penuhnya minta ampun. Ibu-ibu bar-bar yang ga punya aturan duduk di mana-mana mereka mau dan itu ternyata berlangsung sebulan penuh.
Lalu hari ini saya memuncak, hari ini adalah H-3 atau H-4 Lebaran dan kalian tahu petugas sampai harus menutup pintu masuk ke stasiun.
Di luar ibu-ibu ini menunggu sambil makan bakso dan menyeruput es kelapa.
Di dalam mereka duduk di mana saja, meludah di mana saja.
Saya jadi makin geram, mereka yang pulang naik kereta sangat ingin di mengerti bahwa mereka pulang berbelanja.
Padahal, puasa pun tidak. Mereka begitu mengharapkan duduk di dalam kereta.
Padahal, sedari pagi mereka berkeliling Pasar Tanah Abang.
Saya bukan habis belanja, saya mau pulang setelah macul di hari-hari yang seharusnya cuti bersama. Saya tidak minta di mengerti, saya hanya meminta bahwa kita sama belajar menghargai.
Bahwa mereka makan dan minum itu urusan mereka. Akan tetapi, mereka bisa kan buang sampah di tempatnya, begitu juga dengan meludah di tempat sampah.
Bahwa mereka mau ngobrol hingga sampai di tujuan adalah urusan mereka. Akan tetapi, mengobrol dengan volume wajar akan mengurangi bising yang sudah maksimal.
Bahwa kita sama ingin duduk dan saat saya dapat duduk dan anda tidak itu adalah ketidakberuntungan anda yang tidak perlu anda bagi dengan saya.
Demikian curahan hati seseorang yang tinggal di kampung dan harus urbanisasi tiap hari demi sebongkah berlian.
Tanah Abang - Serpong, 5 Juli 2013.
"Saya tidak minta di mengerti", kata di mengeti pada paragraf 9 baris ke 2 itu menurut EYD harusnya disambung tet, jadi dimengerti :), hehe... curhat yang banyaklah, biar gw bisa baca...
BalasHapusAaaahhhhh
BalasHapusLodar gw seriua mau baca komentar eh bahasnya EYD. Okesip!