Saya pasti bukan satu-satunya orang yang begitu mengutuk Jakarta, yang menolak menetap di sana, namun takkunjung mampu meninggalkannya.
Akhirnya saya memutuskan untuk mencari kesenangan di Jakarta, kesenangan yang "gw banget".
Untuk sebagian orang kesenangan di Jakarta adalah mall. Mall di Jakarta bagi saya seperti macet, ada di setiap sudut kota ini. Saya kenal seorang teman yang kesenangannya dari satu mall ke mall lain, yang kalau diajak jalan kaki akan bilang pegel, tapi hapal tiap sudut Grand Indonesia dan tidak pernah lelah memutari mall tersebut.
Mall sebagai tempat segala ada bagaikan nirwana yang menguras kantong, dari makanan enak hingga hiburan lainnya, dari musik hingga film, dan mungkin buku-buku yang peminatnya tidak sebanyak dua hiburan sebelumnya.
Di kota ini mall seperti nirwana yang menyediakan segala hal, dan jika nirwana tersedia bagi mereka yang berbuat baik, maka mall tersedia bagi mereka yang berkantong tebal.
Apakah itu kesenangan yang "gw banget" bagi saya? Mungkin belum, saya tidak akan munafik bahwa saya pun kerap kali ke sana, tapi kadang, akhir-akhir ini saya tahu bahwa kesenangan saya pun bisa tercipta dengan segelas kopi, teman ngobrol asyik, dan ditutup dengan pelukan hangat.
Kesenangan kedua adalah bertemu dengan senja yang menarik di Jakarta. Senja di Jakarta memang sulit ditemukan, namun bukan berarti tidak ada. Dan karena sulitnya itu kita makin sadar betapa ia memang pantas untuk dicari.
Senja di kota nan padat ini mungkin kurang syahdu karena beradu nasib dengan suara kendaraan, dengan macet, dan kadang makian. Namun, Tuhan memberinya secara gratis, kita hanya butuh menemukannya dan sekadar diam untuk menikmati.
Penduduk kota ini pasti sudah sangat hapal betapa kota ini sungguh diatur cuaca, Jakarta akan sangat semrawut di kala hujan apalagi ditambah banjir. Namun, sesekali cobalah jalan sepanjang Thamrin, yang konon listrik di sepanjang jalan itu dapat menerangi seluruh pulau Kalimantan.
Jalanlah saat hujan rintik di atas pukul sembilan malam. Berdiri di bawah tiang lampu dan menengadahkan ke lampu, gedung-gedung pencakar langit itu pasti akan nampak lebih indah, lebih puitis, tidak angkuh seperti saat ia dihujani matahari.
Jalanan di kota ini bahkan kadang punya komedinya sendiri, saat para penjual kopi keliling yang saat ini sedang tren di Jakarta duduk di trotoar untuk bermain catur-caturan dengan batu. Ah mungkin hanya saya saja yang berlebihan yang melihatnya. Namun saya merasakan kelegaan saat melihat banyak kesederhaan terjadi di kota ini.
Dan beberapa waktu lalu Tuhan mengajak saya bertemu dengan hal menarik lain di kota ini. Kehujanan massal di Monas. Ternyata Monas jadi lebih menarik saat hujan, saat langit begitu gelap dan ini menjadi pusat semesta dengan lampu kota sebagai bintang-bingtangnya.
Sayangnya untuk menikmati keindahan ini saya harus kuyup, Monas tidak menyediakan tempat berteduh dan sekali lagi, dengan tangan pemerintah, Tuhan memberikan Monas yang romantis kala hujan dengan gratis.