Saat kalian baca judulnya janganlah kalian berharap bahwa
ini akan jadi tulisan objektif yang penuh dengan fakta dan sumber-sumber yang
pasti. Ini adalah tentang saya dan gaya menulis saya yang hingga kini masih
belum berubah.
Si kesadaran datang saat saya harus menerjemah beberapa hari
lalu. Artikel yang harus saya terjemah adalah sebuah kumpulan “kutipan” dari
para suami-suami yang masih menyayangi istri mereka hingga tahun kesepuluh pernikahan. Nah! Masalahnya
si artikel yang saya terjemahkan itu jadi penuh diksi dan gaya keperempuanan
yang mengagumi para lelaki tersebut yang nampaknya di zaman sekarang sangat
sulit di dapat.
Saya yakin banyak orang di zaman sekarang mempertanyakan
lembaga pernikahan dengan begitu maraknya perceraian dan artikel yang saya
terjemah itu seolah jadi keniscayaan.
Ya keniscayaan bagi saya dan saya malah merasa bersalah
karenanya. Tulisan manis dari para lelaki itu jadi subjektif dengan nada “oh so
sweet” di tangan saya.
Kecenderungan saya dengan keperempuaan sudah datang dari
jauh-jauh hari. Dari hari saya meyakini bahwa saya akan skripsi Oka Rusmini di
semester ketiga. Dari jungkir balik baca karya penulis perempuan. Dari yang
bosan dengan kemampanan atau yang justru terperangkap dalam kemapanan yang
dilegitimasi lelaki, masyarakat, dan negara ini.
Dan hingga hari ini, ketika saya menulis tulisan ini dengan
frekuensi saya yang jarang sekali membaca saya masih terperangkap di dalamnya.
Saya masih memandang dengan cara itu. Menulis dengan cara itu dan smoga itu
adalah kekhasan saya.
Masalahnya, entah mengapa saya jadi begitu subjektif. Saya hanya
melihat dari sudut pandang dan sejujurnya saya enggan terperangkap dan akhirnya
berujung pada “ini subjektif saya.” Ya iyalah lah wong itu saya yang ngomong.
Saya masih ingat zaman diskusi di kelas Sastra yang memang
tidak ada salah atau benar yang ada hanya argumentasi siapa yang paling banyak
merujuklah yang paling berterima. Masalahnya, saya sudah taklagi di ruang
kelas. Hidup saya bukan lagi dari satu cerpen ke cerpen yang lain, bukan lagi
satu novel ke novel yang lain, bukan satu puisi ke puisi yang lain.
Dan di dunia yang keras ini salah-benar jadi keharusan. Kala
apa yang ditulis begitu mudah diinterpretasikan di Twitter. Kala rindu jadi
milik bersama, kala tempat tidur bukan lagi privasi.
Sudut pandang yang saya ambil jadi masalah bagi beberapa
orang. Cara melihat saya jadi sebuah pertanyaan. Dan yang paling buruk adalah
saya taklagi mampu menjawab sekeras dulu, kala teori berputar-putar di kepala.
Maka di sinilah saya berada.
Saya akan berkata dengan jujur bahwa saya tidak mampu tidak
menulis seperti itu hingga saya menulis ini.
Bahwa saya masih berada di zona nyaman saya dengan sudut
pandang itu. Saya tidak akan meminta maaf karena itu.
Namun, percayalah bahwa apa yang selalu saya tulis adalah
sesuatu yang hadir dari dalam hati saya dan saya masih percaya kutipan dari
seorang teman “sesuatu yang datang dari hati pasti akan sampai ke hati pula.”
Hai Simone saya juga masih cinta kamu dan lelaki yang suka dengan lelaki yang di sebelahmu. |