"satu-satunya yang paling berharga dalam hidup adalah ketidakpastian dalam hidup (Kenko, Essays on Idleness)."
Kamis, 20 Desember 2012
Senin, 17 Desember 2012
Jumat, 14 Desember 2012
Zafran (Junot) Juru Selamat 5cm.
Saya tipe yang
selektif dalam menonton alih wahana dari buku ke film. Maka, memutuskan untuk
menonton 5cm adalah keputusan yang berat karena saya hafal benar apa isi
bukunya dan akan “kecewa” jika imaji saya rusak dengan visualiasi yangg buruk.
Perjudian
dimulai!
Saya membacanya saat saya duduk di kelas 2 SMU dengan hasrat yang bgitu tinggi dengan alam dan jujur saja novel 5cm juga satu diantara motivasi untuk sampai ke Mahameru selain bahwa Mahameru adalah tanah tertinggi Jawa, impian banyak pendaki Indonesia.
Onani yang takberkesudahan
Saya membacanya saat saya duduk di kelas 2 SMU dengan hasrat yang bgitu tinggi dengan alam dan jujur saja novel 5cm juga satu diantara motivasi untuk sampai ke Mahameru selain bahwa Mahameru adalah tanah tertinggi Jawa, impian banyak pendaki Indonesia.
Onani yang takberkesudahan
Saya yakin banyak yang sudah sering lihat Mahameru di TV,dengan acara jalan-jalan
dan penjelajahan yang menjamur aneh rasanya jika Mahameru pertama kali disapa
di 5cm. Sayangnya, generasi ini, generasi instan yang gila-gilaan dengan media
akan lebih senang dengan sesuatu yang sudah matang,entah alami, maupun buatan.
Maka, film
ini hadir di momen yang tepat dan strategi jitu. Lihatlah bagaimana follower
Twitter asli 5cm ribuan orang, trailer
dan teaser-nya dilihat jutaan pasang
mata, serta bagaimana sang penulis buku sering kali ditodong kapan film ini
beredar.
Jadilah 5cm yang menjelajah Mahameru jadi kiblat baru, saat ia bukan hanya dalam imajinasi,tapi wujud yang direkam melalui kamera. Bukan disaksikan di layar kaca namun layar lebar. Mereka bukan membaca dan berimaji, namun disuapi, dilahap dengan ganas.
Bilang saya kuno atau apa pun,tapi menonton 5cm ratusan kali tidak akan sama tanpa ke sana.
Tenang kawan, banyak porter, siapkan banyak uang kita akan sampai di sana. Jika lebih kaya lagi, pemandangan udara dr atas ada helipad di Oro-oro ombo.
Terima kasih Zafran (Junot)
Untung Rizal Mantovani atau siapa pun penulis naskah mengubah si pencerita jadi Zafran bukan Genta, karena jika sudut pandang yang digunakan tetap sudut pandang Genta seperti dalam novelnya saya yakin segala jadi beda di layar lebar itu.
Zafran dalam bukunya jelas tidak seganteng Junot. Ia digambarkan kurus dan lebih selengean dari yang Junot perankan. Lelaki aneh yang tergila-gila dengan puisi, quotes, dan musik. Untungnya, Junot dengan gayanya buat Zafran hidup dengan cara yang lain, humor dan ketampanan yang pas.
Jadilah 5cm yang menjelajah Mahameru jadi kiblat baru, saat ia bukan hanya dalam imajinasi,tapi wujud yang direkam melalui kamera. Bukan disaksikan di layar kaca namun layar lebar. Mereka bukan membaca dan berimaji, namun disuapi, dilahap dengan ganas.
Bilang saya kuno atau apa pun,tapi menonton 5cm ratusan kali tidak akan sama tanpa ke sana.
Tenang kawan, banyak porter, siapkan banyak uang kita akan sampai di sana. Jika lebih kaya lagi, pemandangan udara dr atas ada helipad di Oro-oro ombo.
Terima kasih Zafran (Junot)
Untung Rizal Mantovani atau siapa pun penulis naskah mengubah si pencerita jadi Zafran bukan Genta, karena jika sudut pandang yang digunakan tetap sudut pandang Genta seperti dalam novelnya saya yakin segala jadi beda di layar lebar itu.
Zafran dalam bukunya jelas tidak seganteng Junot. Ia digambarkan kurus dan lebih selengean dari yang Junot perankan. Lelaki aneh yang tergila-gila dengan puisi, quotes, dan musik. Untungnya, Junot dengan gayanya buat Zafran hidup dengan cara yang lain, humor dan ketampanan yang pas.
Zafran
dengan film juga tidak secerewet dalam novelnya, namun di situlah keberhasilan
Junot, dengan mata dan mimiknya atau mungkin ketampanannya yang membuat semua
itu berbayar lunas.
Bagi saya hanya Junotlah yang berhasil, Fedi Nuril sebagai Genta tampak susah payah untuk jadi dewasa, mimpi pada matanya yang digambarkan dimiliki Genta di novel tidak ada dalam mata Fedi. Yang paling parah buat saya, ia tidak menggambar dirinya sebagai pendaki yang cukup "berpengalaman" matanya terlalu berbinar saat memandang Mahameru, penjelasan darinya jadi kaku serupa textbook. Untuk yang mengidam-idamkan Mahameru ia tidak cukup cakap.
Bagi saya hanya Junotlah yang berhasil, Fedi Nuril sebagai Genta tampak susah payah untuk jadi dewasa, mimpi pada matanya yang digambarkan dimiliki Genta di novel tidak ada dalam mata Fedi. Yang paling parah buat saya, ia tidak menggambar dirinya sebagai pendaki yang cukup "berpengalaman" matanya terlalu berbinar saat memandang Mahameru, penjelasan darinya jadi kaku serupa textbook. Untuk yang mengidam-idamkan Mahameru ia tidak cukup cakap.
Gunung
adalah tempat yang dingin tapi jadi paling hangat dengan kebersamaan dan Fedi
di novel ini alfa memperlihatkan itu sebagai yang berpengalaman. Tetapi mungkin
berhasil bagi mereka, bukankah sudah dijelaskan sebelum mereka memutuskan untuk
tidak bertemu dulu.
“Kita ga
punya temen lain selain kita berlima.”
Lalu
satu-satu perempuan dalam gank ini,Riani,
tampak datar, tipikal Kristen Stewart, cantik tapi ga bisa akting, lihat dia
menangis, hanya ingus di srat-srot-srat-srot bukan air mata yg alami, padahal
orang waras mana yg tidak menangis saat sampai di puncak, pada adegan
puncak,liat mata Fedi dan Junot, sangat jauh beda dengan wajah tokoh Riani.
Namun, ia pun masih patut diapresiasi saat ia bersama Zafran atau Genta dengan
manja dan lembut, ia pas di sana. Apalagi dengan wajah yang cantik saya rasa
banyak yang memaklumi segala kealfaannya dalam berakting.
Deni Sumargo, kembalilah jadi pebasket, kamu gagap di depan kamera, dialekmu aneh bahkan saat tokoh yang kamu perankan tokoh yg kaku! Saya mengapresiasi tubuh besarmu tapi bagi saya itu tidak cukup.
Jika para cewe puas dengan Junot dan Fedi maka saya yakin para lelaki cukup ngeces dengan Pevita Pearce dan tank top putihnya, dengan blower yangg selalu menemani. Tapi, saya akan adil, di film ini Pevita main dengan baik, ia nampak lebih kenal kamera dan tidak lagi gugup di hadapannya. Wajahnya lebih natural, tanpa make-up.
Deni Sumargo, kembalilah jadi pebasket, kamu gagap di depan kamera, dialekmu aneh bahkan saat tokoh yang kamu perankan tokoh yg kaku! Saya mengapresiasi tubuh besarmu tapi bagi saya itu tidak cukup.
Jika para cewe puas dengan Junot dan Fedi maka saya yakin para lelaki cukup ngeces dengan Pevita Pearce dan tank top putihnya, dengan blower yangg selalu menemani. Tapi, saya akan adil, di film ini Pevita main dengan baik, ia nampak lebih kenal kamera dan tidak lagi gugup di hadapannya. Wajahnya lebih natural, tanpa make-up.
Sedangkan,
Igor Saykoji, Adrian Adriano, ia main dengan sangat aman, lagi pula, siapa sih
orang yang ga luluh dengan orang dengan badan jumbo dan botak?
Akhir yang
Indonesia Banget
Di novelnya
saya sudah cukup mengernyitkan dahi saat penulis memutuskan akhir yang begitu,
lalu sekarang entah mengapa sang sutradara memutuska akhir yang begitu. Okelah
untuk Arial dan Indi, Riani dan Zafran, tapi Ian dan Happy Salma?
Dan kenapa
pula Ian sempat mempelihatkan tahun di jamnya. Setting film itu digambarkan pada 2012, lalu kita semua tahu bahwa
Happy Salma sudah menikah di pada 2012, saat mereka membuat Genta takdapat
pasangan, tidak seperti di novel mengapa pula memaksa Ian harus bersama Happy
Salma?
Mahameru sihirnya!
Mahameru jelas jd sihirnya, indah dan oro-oro ombo masih seperti yg saya ingat.
Liat bagaimana kamera berkali-kali ada di udara, menyapu alam, awan, dan sunrise yang kuning pagi itu yang membuat ponakan saya minta ke Semeru begitu sampai di rumah usai menonton.
Mahameru sihirnya!
Mahameru jelas jd sihirnya, indah dan oro-oro ombo masih seperti yg saya ingat.
Liat bagaimana kamera berkali-kali ada di udara, menyapu alam, awan, dan sunrise yang kuning pagi itu yang membuat ponakan saya minta ke Semeru begitu sampai di rumah usai menonton.
Semua foto dari http://www.facebook.com/pages/5-cm/73614158568?sk=photos_stream
Selasa, 11 Desember 2012
Ke Arah “Pulang”
pu·lang v pergi ke rumah atau ke
tempat asalnya; kembali (ke); balik (ke):
(http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php )
Seusai Nadira saya rasa banyak yang
mengharapkan Leila S. Chudori lagi dengan karya-karyanya, bukan sekadar resensi
mingguan di Majalah Tempo. Perkenalan kami dimulai saat saya membaca 9 dari Nadira. Saya bahkan membaca 9 dari Nadira lebih dulu daripada Malam Terakhir karena jatuh cinta dengan
gayanya bertutur dan karena kecenderungan saya dengan penulis-penulis
perempuan.
Pulang, karya Leila S.
Chudori terbaru. Pulang, mengisahkan Dimas Suryo dan anaknya, Lintang
Utara Suryo dengan rentang waktu 1968-1998. Dari rentang waktunya saja kita
akan tahu betapa banyak peristiwa sejarah penting yang terjadi di Indonesia dan
dari kecamuk itu pulalah terjadi banyak konflik dalam novel ini.
Leila membagi novel ini jadi tiga bagian, Dimas Suryo,
Lintang Utara, dan Segara Alam. Dalam ketiga bagian itu terbagi lagi menjadi
judul-judul yang lebih spesifik. Sudut pandang “Aku” (sudut pandang pertama)
yang berubah-ubah, bergantung siapa saat itu yang sedang bertutur, baik
laki-laki perempuan, dengan sudut pandang seorang ayah, juga seorang anak.
Sudut pandang “Aku” Dimas Suryo, seorang tahanan
politik (tapol) yang tidak bisa kembali ke Indonesia dan anak perempuannya
Lintang Utara Suryo yang mencari Ke-I.N.D.O.N.E.S.I.A.-an yang hanya ia dengar
dari cerita secara sporadik dari sahabat ayahnya sesama tapol.
Jika pada Nadira kita akan
membaca cuplikan buku harian, pada Pulang kita akan disuguhkan surat-menyurat.
Jangan salah paham jika saya membandingkan, bagi saya ada kecenderungan
tertentu mengapa Leila menulis dengan cara seperti itu dan akhinya
membandingkan ini menjadi hal wajar kala ia mengulang formula seperti itu.
Jika bagi Dimas, “pulang” itu sudah jelas makan
Lintanglah yang masih mencari di mana pulang baginya.
Secara pengaluran, novel ini pun
punya banyak lompatan, baik dari surat-menyurat, maupun ingatan tokoh para
tokoh. Membaca Pulang juga membaca
nasionalisme, membaca sejarah yang dibungkam, menelusuri Prancis, dan
terseret-seret dengan begitu banyak nama sastrawan besar. Namun begitu, dengan
banyak tokoh Leila masih menyediakan tokoh dengan mendalam, dengan detail.
Maka, bersiaplah saat penyiksaan yang dialami Surti dan Kenanga selama mereka
harus diinterogasi oleh para interogator yang bikin hati mencelos. Leila juga
mahir membuat perasaan sendirian jadi begitu gelap, saya mendapatinya pada diri
Dimas, persis seperti yang juga Nadira alami.
Maka selamat membaca, untuk mereka
yang menyukai bacaan yang memiliki nilai bukan sekadar tutup, saya rasa Pulang
sangat cocok untuk dibaca. Atau jika kalian ingin membaca yang punya romansa,
jangan khawatir, di tengah kekacauan Leila masih menyediakan tempat untuk rasa
yang membuncah.
Makasih Onyon |
Lantai 16, 111212
Langganan:
Postingan (Atom)