Saya tipe yang
selektif dalam menonton alih wahana dari buku ke film. Maka, memutuskan untuk
menonton 5cm adalah keputusan yang berat karena saya hafal benar apa isi
bukunya dan akan “kecewa” jika imaji saya rusak dengan visualiasi yangg buruk.
Perjudian
dimulai!
Saya membacanya saat saya duduk di kelas 2 SMU dengan hasrat yang bgitu tinggi dengan alam dan jujur saja novel 5cm juga satu diantara motivasi untuk sampai ke Mahameru selain bahwa Mahameru adalah tanah tertinggi Jawa, impian banyak pendaki Indonesia.
Onani yang takberkesudahan
Saya membacanya saat saya duduk di kelas 2 SMU dengan hasrat yang bgitu tinggi dengan alam dan jujur saja novel 5cm juga satu diantara motivasi untuk sampai ke Mahameru selain bahwa Mahameru adalah tanah tertinggi Jawa, impian banyak pendaki Indonesia.
Onani yang takberkesudahan
Saya yakin banyak yang sudah sering lihat Mahameru di TV,dengan acara jalan-jalan
dan penjelajahan yang menjamur aneh rasanya jika Mahameru pertama kali disapa
di 5cm. Sayangnya, generasi ini, generasi instan yang gila-gilaan dengan media
akan lebih senang dengan sesuatu yang sudah matang,entah alami, maupun buatan.
Maka, film
ini hadir di momen yang tepat dan strategi jitu. Lihatlah bagaimana follower
Twitter asli 5cm ribuan orang, trailer
dan teaser-nya dilihat jutaan pasang
mata, serta bagaimana sang penulis buku sering kali ditodong kapan film ini
beredar.
Jadilah 5cm yang menjelajah Mahameru jadi kiblat baru, saat ia bukan hanya dalam imajinasi,tapi wujud yang direkam melalui kamera. Bukan disaksikan di layar kaca namun layar lebar. Mereka bukan membaca dan berimaji, namun disuapi, dilahap dengan ganas.
Bilang saya kuno atau apa pun,tapi menonton 5cm ratusan kali tidak akan sama tanpa ke sana.
Tenang kawan, banyak porter, siapkan banyak uang kita akan sampai di sana. Jika lebih kaya lagi, pemandangan udara dr atas ada helipad di Oro-oro ombo.
Terima kasih Zafran (Junot)
Untung Rizal Mantovani atau siapa pun penulis naskah mengubah si pencerita jadi Zafran bukan Genta, karena jika sudut pandang yang digunakan tetap sudut pandang Genta seperti dalam novelnya saya yakin segala jadi beda di layar lebar itu.
Zafran dalam bukunya jelas tidak seganteng Junot. Ia digambarkan kurus dan lebih selengean dari yang Junot perankan. Lelaki aneh yang tergila-gila dengan puisi, quotes, dan musik. Untungnya, Junot dengan gayanya buat Zafran hidup dengan cara yang lain, humor dan ketampanan yang pas.
Jadilah 5cm yang menjelajah Mahameru jadi kiblat baru, saat ia bukan hanya dalam imajinasi,tapi wujud yang direkam melalui kamera. Bukan disaksikan di layar kaca namun layar lebar. Mereka bukan membaca dan berimaji, namun disuapi, dilahap dengan ganas.
Bilang saya kuno atau apa pun,tapi menonton 5cm ratusan kali tidak akan sama tanpa ke sana.
Tenang kawan, banyak porter, siapkan banyak uang kita akan sampai di sana. Jika lebih kaya lagi, pemandangan udara dr atas ada helipad di Oro-oro ombo.
Terima kasih Zafran (Junot)
Untung Rizal Mantovani atau siapa pun penulis naskah mengubah si pencerita jadi Zafran bukan Genta, karena jika sudut pandang yang digunakan tetap sudut pandang Genta seperti dalam novelnya saya yakin segala jadi beda di layar lebar itu.
Zafran dalam bukunya jelas tidak seganteng Junot. Ia digambarkan kurus dan lebih selengean dari yang Junot perankan. Lelaki aneh yang tergila-gila dengan puisi, quotes, dan musik. Untungnya, Junot dengan gayanya buat Zafran hidup dengan cara yang lain, humor dan ketampanan yang pas.
Zafran
dengan film juga tidak secerewet dalam novelnya, namun di situlah keberhasilan
Junot, dengan mata dan mimiknya atau mungkin ketampanannya yang membuat semua
itu berbayar lunas.
Bagi saya hanya Junotlah yang berhasil, Fedi Nuril sebagai Genta tampak susah payah untuk jadi dewasa, mimpi pada matanya yang digambarkan dimiliki Genta di novel tidak ada dalam mata Fedi. Yang paling parah buat saya, ia tidak menggambar dirinya sebagai pendaki yang cukup "berpengalaman" matanya terlalu berbinar saat memandang Mahameru, penjelasan darinya jadi kaku serupa textbook. Untuk yang mengidam-idamkan Mahameru ia tidak cukup cakap.
Bagi saya hanya Junotlah yang berhasil, Fedi Nuril sebagai Genta tampak susah payah untuk jadi dewasa, mimpi pada matanya yang digambarkan dimiliki Genta di novel tidak ada dalam mata Fedi. Yang paling parah buat saya, ia tidak menggambar dirinya sebagai pendaki yang cukup "berpengalaman" matanya terlalu berbinar saat memandang Mahameru, penjelasan darinya jadi kaku serupa textbook. Untuk yang mengidam-idamkan Mahameru ia tidak cukup cakap.
Gunung
adalah tempat yang dingin tapi jadi paling hangat dengan kebersamaan dan Fedi
di novel ini alfa memperlihatkan itu sebagai yang berpengalaman. Tetapi mungkin
berhasil bagi mereka, bukankah sudah dijelaskan sebelum mereka memutuskan untuk
tidak bertemu dulu.
“Kita ga
punya temen lain selain kita berlima.”
Lalu
satu-satu perempuan dalam gank ini,Riani,
tampak datar, tipikal Kristen Stewart, cantik tapi ga bisa akting, lihat dia
menangis, hanya ingus di srat-srot-srat-srot bukan air mata yg alami, padahal
orang waras mana yg tidak menangis saat sampai di puncak, pada adegan
puncak,liat mata Fedi dan Junot, sangat jauh beda dengan wajah tokoh Riani.
Namun, ia pun masih patut diapresiasi saat ia bersama Zafran atau Genta dengan
manja dan lembut, ia pas di sana. Apalagi dengan wajah yang cantik saya rasa
banyak yang memaklumi segala kealfaannya dalam berakting.
Deni Sumargo, kembalilah jadi pebasket, kamu gagap di depan kamera, dialekmu aneh bahkan saat tokoh yang kamu perankan tokoh yg kaku! Saya mengapresiasi tubuh besarmu tapi bagi saya itu tidak cukup.
Jika para cewe puas dengan Junot dan Fedi maka saya yakin para lelaki cukup ngeces dengan Pevita Pearce dan tank top putihnya, dengan blower yangg selalu menemani. Tapi, saya akan adil, di film ini Pevita main dengan baik, ia nampak lebih kenal kamera dan tidak lagi gugup di hadapannya. Wajahnya lebih natural, tanpa make-up.
Deni Sumargo, kembalilah jadi pebasket, kamu gagap di depan kamera, dialekmu aneh bahkan saat tokoh yang kamu perankan tokoh yg kaku! Saya mengapresiasi tubuh besarmu tapi bagi saya itu tidak cukup.
Jika para cewe puas dengan Junot dan Fedi maka saya yakin para lelaki cukup ngeces dengan Pevita Pearce dan tank top putihnya, dengan blower yangg selalu menemani. Tapi, saya akan adil, di film ini Pevita main dengan baik, ia nampak lebih kenal kamera dan tidak lagi gugup di hadapannya. Wajahnya lebih natural, tanpa make-up.
Sedangkan,
Igor Saykoji, Adrian Adriano, ia main dengan sangat aman, lagi pula, siapa sih
orang yang ga luluh dengan orang dengan badan jumbo dan botak?
Akhir yang
Indonesia Banget
Di novelnya
saya sudah cukup mengernyitkan dahi saat penulis memutuskan akhir yang begitu,
lalu sekarang entah mengapa sang sutradara memutuska akhir yang begitu. Okelah
untuk Arial dan Indi, Riani dan Zafran, tapi Ian dan Happy Salma?
Dan kenapa
pula Ian sempat mempelihatkan tahun di jamnya. Setting film itu digambarkan pada 2012, lalu kita semua tahu bahwa
Happy Salma sudah menikah di pada 2012, saat mereka membuat Genta takdapat
pasangan, tidak seperti di novel mengapa pula memaksa Ian harus bersama Happy
Salma?
Mahameru sihirnya!
Mahameru jelas jd sihirnya, indah dan oro-oro ombo masih seperti yg saya ingat.
Liat bagaimana kamera berkali-kali ada di udara, menyapu alam, awan, dan sunrise yang kuning pagi itu yang membuat ponakan saya minta ke Semeru begitu sampai di rumah usai menonton.
Mahameru sihirnya!
Mahameru jelas jd sihirnya, indah dan oro-oro ombo masih seperti yg saya ingat.
Liat bagaimana kamera berkali-kali ada di udara, menyapu alam, awan, dan sunrise yang kuning pagi itu yang membuat ponakan saya minta ke Semeru begitu sampai di rumah usai menonton.
Semua foto dari http://www.facebook.com/pages/5-cm/73614158568?sk=photos_stream
aku masih ngerasa nggak suka aja sama 5CM. Gegara dibombardir di Kapita Selekta. Pendaki di Indonesia juga udah banyaaak bangeet. Bahkan yang jalan kaki (gak cuma naik kereta)pasti udah ada. Nggak ada yang baru di 5CM kecuali paradigma baru tentang memaknai kata "5CM"
BalasHapusahahaha
BalasHapussepakat, cuma ini lagi in banged di anak muda kita,kita liat aja seberapa lama bakal bertahan
Sangat setuju sekali, beginilah resiko nya..makanya saya pun sangat berjudi dalam menontonnya..dan sangat kecewa sekali saya..
BalasHapusSok amat sih kalian....
BalasHapusemang kalian bisa buat film yang sempurna??
film itu juga agar bisa membuat kita sadar dan tahu betapa pentingnya persahabatan itu... dan betapa bagusnya indonesia di mata pendaki luar...
film ini aja baru diputar bulan ini di malaysia dan australia...
tapi penghinaan tetep aja -_-
Yang luarbiasa
BalasHapustentang Cita-cita/mimpi, cinta, harapan, dan persahabatan yang diletakan 5cm di atas kepala,biarkan ia menggantung, mengambambang namun tetap ada disana.
Lebih bagus film seperti ini di banding dengan film2 horor di indonesia yg tidak bermoral dan kurang mendidik
BalasHapusFilm ini penuh motivasi walaupun bnyak kekurangan, setidaknya film ini lebih baik dibanding film2 horor
Sepertinya sang penulis lebih tau soal dunia akting dan alam. Menurut saya sih film yg bagus itu film yg punya nilai moral. Film yg menggambarkan betapa indahnya alam Indonesia. Pertanyaan nya apakah film dari novel itu harus saklek sama isi novel?
BalasHapusSaya rasa sehebat apapun sutradaranya dan sebesar apapun biayanya, gambar gak akan pernah bisa merealisasikan tulisan dengan sempurna.