Minggu, 14 Agustus 2011

TABAH

TABAH
Teriakan mereka berlanjut di malam kelam dan takada satu pun yang membantunya bangun dari kegelapan malam. Perempuan itu tidak jua bangun dari kegelapan malam yang pekat, bukan karena tidak mampu hanya saja segala terlalu dalam baginya. Ya, perempuan itu terus meratapinya. Bukan, bukan meratapinya hanya terus menjalaninya. Kian tabah. Kian takmengeluh. Serta merta terus melaju dengan segala apa pada dirinya. Meski tidak pernah banyak lagi.
            Perempuan muda itu terus berjalan. Tidak menengok ke belakang. Tidak menangis hanya menjalani sebaiknya. Betapa ia telah makan asam-garam kehidupan. Betapa ia telah menjalani cinta. Ya, cinta membuatnya takjuga menemu mataharinya. Ia menganggap dirinya dalam terang. Tapi, sebenarnya ia berada pada pekatnya malam. Malam yang begitu gelap bahkan tanpa sinar.
            Apa yang tidak dikorbankannya. Dirinya. Hatinya. Jiwanya. Segalanya. Telah ia beri segalanya. Tapi manusia takpernah puas bahkan yang telah menggerogoti jiwanya hingga habis. Hingga menulang. Hingga jiwanya seolah terkelupas dari raganya. Dan raga yang ditinggalinya hanya sekadar tuk menumpang.
Perempuan itu tak menangis seberapa perih yang ia rasakan ia tidak juga menangis, apalagi menggugat apa yang membuatnya bersedih dan menangis. Ia terlalu baik, bahkan mungkin bagi apa yang dianggapnya sempurna. Apa yang dimilikinya, ia mungkin bisa seribu kali dapat yang lebih baik. Namun, ia tidak begitu. Ia memilih menjaga apa yang ia punya. Hingga apa yang terjaga itu sadar bahwa ia begitu menyayangi yang entah kapan datang.
Bahkan ketika tongkat yang menopangnya jatuh atau patah dia taklupa kembali membuatnya. Tidak melupa kembali bangun. Demi seseorang, yang ditunggunya. Tetapi, tetap tidak mengerti. 
Ia memercayai dalam kebohongan. Dan pasti serta selalu dalam jujur. Ia menopang di kala jatuh. Ia merangkul dalam perih.ia berada selalu dalam dekatnya ataupun jauhnya.  
“Aku sayang dia. Mungkin bodoh dan dangkal. Tapi, aku takakan menyesalinya. Seberapa kali Tuhan menganggap ini bodoh dan salah aku takakan mundur.”
Entah berapa kali sudah kata-kata itu dilontarkan dari mulutnya. Mulai ada bias dalam kata-katanya, sebenarnya kata-kata itu untuk menguatkan siapa. Untuk meyakini orang lain ataukah untuk dia yang takpernah mengeluh dalam segala sedihnya dan hanya memasukkan segalanya dalam jiwanya yang tinggal setengah.
“Aku tahu pasti matahariku berada di sebelahku. Aku tahu pasti ia ada. Aku tahu ia menyakitiku karena ia sayang. Ia terlalu sayang padaku hingga terik ini pun membuatku berada dalam kehangatan. Ia tak ingin menyakitiku. Tidak pernah terbesit dalam dirinya. Aku tahu itu.”
Benarkah yang ia katakan tentang apa yang jadi miliknya. Benarkah lelaki itu menyayanginya. Bahkan dengan menyakitinya. Benarkah hal itu. Aku ingin membangunkan perempuan ini tapi ia takmau. Yang ia tahu bahwa ia akan menjaga yang ia punya entah hingga kapan. Memaafkannya dalam salah arah. Takakan pergi meski ia tahu lelaki itu menyakitinya dengan sangat. Membunuh kepercayaannya yang penuh. Mengambil segala miliknya. Tapi, ia pun bergeming dan masih setia disana.
Ia menunggu sang lelaki. Dalam mabuk. Dalam hingar-bingar. Dalam sadar. Dalam sakau. Dalam keadaan apapun ia menunggu. Tapi apakah ia dapat sama banyak. Adakah lelakinya tahu bahwa ia begitu. Adakah lelaki itu akan melakukan yang sama banyak dengan apa yang ia lakukakn. Ia tak meminta sama banyak hanya sedikit dan ia itu pun masih sulit didapatkan wanita itu.
Hari ini sempurna. Ia bahagia. Mungki paling bahagia. Ia tertawa renyah. Tidak ada resah kali ini. Tapi, lelaki itu merusaknya. Kesempurnaan itu hilang. “Maaf ya Sayang”. Betapa mudah kata-kata itu. Betapa kata-kata itu dengan mudah menghapus segalanya.
Ia pun memaafkan lelakinya. Ia menunggu matahari untuk kembali membawanya dalam terang bersama lelakinya. Citranya masih sama dan akan tetap sama. Ia adalah kesempurnaan.

Untuk sahabatku dalam ketaksempurnaannya menunggu
dan atas apa yang telah dilepaskannya.
21 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar