Senin, 30 April 2012

Pertemuan dengan Ilana Tan untuk Pertama Kalinya


Akhir-akhir ini saya merasa perlu kembali membaca, ketika rutinitas jadi basi dan sama sekali taklagi menarik. Saya taklagi mampu sekadar ke Salak menuju emak untuk berdiam. Menuju Cibodas untuk mematut. Kini berada dalam pikir yang itu-itu saja rasanya kadang jadi hiburan untuk membuat diri tetap menjejak bumi.

Maka saya kembali membaca dan kadang saya jadi begitu rindu menulis. Jangan tanya saya berapa buku yang saya selesaikan dalam satu bulan. Saya bukan lagi mahasiswa sastra yang tiap kali membaca jadi harus siap siaga dengan apa yang saya temui. Saya bukan lagi mahasiswa sastra sepekan tiga novel, satu dalam sebulan saja rasanya saya sudah sangat berbangga hati saat ini.

Saya kini buruh. Buruh yang tiap delapan jam sehari bergelut dengan berita politik dan segala “Bad News is a Good News.”

Membaca kini pun jadi mewah, kadang saya memilih tidur di kereta hanya sekadar memejam mata dan mengistirahatkannya. Lalu tidur jadi rutinitas yang membelenggu. Lagi-lagi saya bukan mahasiswa yang suka begadang. Sekarang, hanya untuk menunggu BBM dari seorang yang saya tunggu di atas jam10 malam pun saya sering kali tertidur.

Dari semua hal di atas saya taklagi memaksa diri untuk menunggu karya baru Ayu Utami, Dewi Lestari, atau bahkan Oka Rusmini yang kini taklagi saya ketahui perkembangannya. Maka saya membaca Ilana Tan. Bukan hal memalukan saya pikir ketika saya membaca yang pop. Saya lebih memilih membaca sastra agar saya masih selalu dekat dengan dunia yang dulu jadi rutinitas saya yang bukan siksaan. Bukan rutinitas yang meminta saya untuk berlibur.

Dimulai dengan menikuti akun Twitter Gramedia banyak sekali pembaca yang membacanya, lalu saya tertarik untuk tau apa sih yang ia tulis dan menye-menye macam apa Ilana Tan. Ya, saya bercuriga bahwa ini sebuah kisah yang akan berakhir bahagia dan bukankah itu yang disukai pasar. Sesuatu yang terpola, penuh kebetulan dan akhir bahagia selamanya seperti dongeng-dongeng masa kecil tentang putri dan pangeran. 

Kecurigaan saya salah tapi kisahnya masih bisa saya tebak. Kebetulan-kebetulan yang dibuat Ilana saya ketahui sejak awal dan saya pikir ini akhir menjadi cerita yang sama saja. Untungnya ia buat akhir yang duka. Saya pikir ia justru lebih baik di sana. Kedukaan yang ia buat jutru lebih membuat saya terhanyut dari kebahagiaan yang ia buat.

 Autumn in Paris, berkisah tentang lelaki dan perempuan yang terpisahkan karena mereka sedarah. Mereka memperjuangkannya tetapi siapa yang bisa melawan darah dan saya rasa itu jadi hal realistis. Jadi hal yang beradu dengan zaman dan akan menyisakan  hal untuk dibawa pulang yang kadang lupa ditulis oleh mereka yang menulis novel populer. Mereka menulis untuk dibaca dan dinikmati lalu ya sudah.

Bagaimana Ilana menggambarkan rasa sakit dan pedih pun begitu terasa, saya belum pernah berada di musim gugur tetapi Ilana membawa saya pada malam yang dingin di pinggir kota Paris. Bagaimana ia membuat ungkapan-ungkapan rasa perih pun begitu manusiawi. Seperti kala Tara ingin memceburkan diri ke dalam sungai supaya hatinya beku, karena bukankah ketika hatinya beku maka rasa sakit pun tak lagi terasa.

Masih ada kebahagiaan yang disisakan di novel ini. Bawa Tatsuya yang secara “tiba-tiba” jatuh dari lantai tiga adalah kebahagiaan baginya. Siapa yang bisa hidup sementara cinta takmampu digapai dan kematian mungkin lebih membahagiakan daripada hidup yang jauh dari kebahagiaan.

Sejujurnya novel ini jadi hiburan yang menyenangkan di tengah kekeringan membaca dan mungkin saya juga lupa bahwa membaca itu tidak perlu pilih-pilih. Selamat membaca dan terus membaca.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar